Selasa, 15 Januari 2019

KAJIAN PEMIKIRAN ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN (ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS) DITINJAU DARI: TESIS, ANTI-TESIS, DAN SINTESIS


KAJIAN PEMIKIRAN ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN (ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS) DITINJAU DARI: TESIS, ANTI-TESIS, DAN SINTESIS

Muhammad Fendrik, M.Pd
Mahasiswa Doktor Pendidikan Dasar

Prof. Dr. Marsigit, MA
Dosen Filsafat Pendidikan
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

PENDAHULUAN
Teori pendidikan yang mula-mula dikenal dalam sejarah ialah filsafat pendidikan (the philosophy of education) sebagai bagian dari sistem berpikir filsafat tertentu, sejajar dengan adanya penerapan ajaran agama tertentu ke dalam pendidikan. Setiap filsafat, baik aliran filsafat, filsafat hidup, maupun filsafat agama, mempunyai pandangan sendiri tentang alam semesta. Terkait dengan empat kelompok persoalan/permasalahan utama dalam berpikir, yaitu: a) kenyataan hakiki (teori realitas/ontologi atau metafisika yang mempersoalkan: “apakah hakekat dari segala sesuatu yang ada?”); b) pengetahuan manusia (teori pengetahuan/ epistemologi yang mempersoalkan: “apakah kebenaran dan dapatkah kita mencapai pengetahuan yang benar?”); c) nilai dan norma (teori nilai/ aksiologi/ estetika, moralitas dan etika, yang mempersoalkan: “apakah arti apresiasi dan menyikapi nilai, dan mengapa perbuatan nilai moral melebihi tahap apresiasi?”) serta d) hakekat manusia yang mendidik/ diperlakukan dalam pendidikan (antropologi kefilsafatan yang mempersoalkan: “apa hakekat manusia, bagaimana hubungannya dengan segala sesuatu dan dengan sesama?”).
Masalah yang disoroti dalam tulisan ini yakni hal-hal negatif yang muncul dari filsafat pendidikan yang inklusivistik (anti-tesis) dikontraskan dengan hal-hal positif (eksklusivistik) yang inheren di dalam dunia pendidikan. Kemudian sebuah sintesis antara anti-tesis dan tesis dikonstruksikan menuju sebuah sinergi positif dalam praksis pendidikan menuju penciptaan perdamaian dunia yang lebih ideal. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan sisi pendidikan yang seharusnya (das sollen) memuara pada penciptaan pendidikan yang efektif dan berkualitas dalam mengembangkan potensi anak agar dapat menjadi generasi yang cemerlang.
Tulisan ini menyoroti kiprah filsafat pendidikan dalam menciptakan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Dalam tulisan ini kami juga mencoba untuk menjelaskan aliran-aliran filsafat pendidikan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sehingga pemikiran atau gagasan yang dicetuskan oleh para filsuf dalam perkembangannya bisa berubah menjadi suatu aliran pemikiran atau paham yang mempunyai pengikutnya masing-masing. Dengan mengetahui aliran dan pengikutnya maka akan mudah bagi kita untuk menetapkan konsep pemikiran filsafat pendidikan dengan seutuhnya.

Referensi Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

REFERENSI
Abdullah, Amin. (2004). Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asiyah, Tyassiti Nur. (1982). Materialisme dan Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta
Bartens. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bungin, Burhan.  (2008).  Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Craig, Robert and Muller, Heidi. (2007). Theorizing Communication: Reading Accross Traditions. London Thousand Oaks California. New Delhi: Sage Publications.
Danarjati, dkk. (2013). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Djamarah, Syaifulndan Aswan Zain. (2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Gerson, Richard F. (2002). Mengukur Kepuasan Pelanggan, Cetakan Kedua, Jakarta: PPM.
Gutek, Gerald L. (1974). Philosophical Alternative in Education. USA: A Bell & Howell Company.
Gutek. Gerald L. (1988). Philosophical and Ideological Persfektif on Education. Chicago: Loyoia University of Chicago.
Hamersma, H. (1992). Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Hidayat, A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.
Kartanegara, M. (2006). Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.
Kneller, George F. (1982). Introduction To The Philosophy Of Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Kneller, George F. (1984). Movements of Thought in Modern Education. New York: John Wiley & Sons.
Knight, George R. (2004). Issues and Alternatives m Education Philosophy, Terj. Mahmud Arif, Filsafat Pendidikan, Isu-isu Kontemporer dan Solusi Alternatif, Yogyakarta: Idea Press.
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours. Yogyakarta: Valia Pustaka.
Littlejohn, Stephen W., Foss, Karen A. (2002). Theories Of Human Communication, Fifth Edition. Belmont, California: Thomson Wadsworth.
Marsigit. (2013). Karakter Islam Dalam Sejarah Pergulatan Memperebutkan Kekuasaan, Filsafat, Ideologi, Ilmu (Matematika), dan Pendidikan. Makalah Dipresentasikan pada Kuliah Umum (Studium Generale) untuk Mahapeserta didik Baru Tahun Akademik pada Jurusan Pendidikan Matematika, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Marsigit. (2013). Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Matematika. Pidato Pengukuhan Guru Besar Disampaikan di depan Rapat Terbuka Senat UNY. Yogyakarta: UNY. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd
Marsigit. (2014). Filsafat Matematika. Yogyakarta: UNY Press.
Marsigit. (2014). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan. Orasi Ilmiah pada Rapat majelis Guru Besar. Yogyakarta: UNY. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd
Marsigit. (2015). Apakah_Matematika_Mencerminkan_Realitas. Yogyakarta: UNY. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd
Martini, Jamaris. (2010). Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Pernamas Murni.
Mc Quail, Denis. (2010).  Mcquail’s  Mass  Communication Theory, 6th Edition. Thousand Oaks. California: Sage Publications, Inc.
O’Neil F., William. (1981). Educational Ideologies; Contemporary Expressions of Educational Philosophies. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company
Pannen, Paulina, dkk. 2001. Kontruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Piaget, J & Inhelder. (1971). Mental Imageryin Child. New York: Basic Books.
Prastiwi, Novitasari Dwi. (2013). Konstruksi Sosial Peserta Didik Pada Lembaga Bimbingan Non-Formal. Paradigma, 1 (1),  1-7.
Qodir, Z. (2006). Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rachels, J. (2004). Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Rizal, Abdul. (2018). Kumpulan Makalah Filsafat Ilmu. Makasar: Universitas Islam Negeri Alaudin Makasar.
Sou, Joesef. (1987). Perkembangan Theologi Modern. Medan: Rimbow.
Sumantri, M dan Permana, J. (1998). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas Proyek Pengembangan Buku Sekolah Dasar.
Suparno, Paul. (2008). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Surajiyo (2009). Dasar-dasar logika. Jakarta: Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. (2003). Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet . XII.
Tamburaka, Apriyadi. (2012). Agenda Setting Media Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Wibowo, B dan Satrijo. (2015). Kajian Filsafat Ilmu dan Filsafat Pendidikan Tentang Relativisme Kultural dalam Perspektif Filsafat Moral. Prodi Pendidikan Akuntansi dan Ketua LPPM IKIP PGRI Madiun.
Woolfolk, A. (2009). Educational Psychology: Active Learning Edition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

Rasionalisme


Filsafat Pendidikan Rasionalisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris yaitu rationalism. Kata ini berakar dari kata Latin yaitu ratio yang berarti “akal”. Sementara secara terminologis, aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegangan pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi (Sumantri dan Permana, 1998: 119).
Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Tokoh aliran Rasionalisme adalah Rene Descartes (1596-1650). Ia adalah matematikawan, fisikawan dan filosof dari Perancis yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan pesat dari ilmu-ilmu alam.
Rasionalisme dari ontologi aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap obyek. Aliran Rasionalisme ini memandang bahwa indera manusia sering menipu, sehingga pengetahuan yang berasal dari pengamatan indera bernilai salah. Menurut Rene Descartes, ilmu pengetahuan yang murni adalah ilmu pengetahuan yang hanya berdasarkan logika sebab-akibat (reasoning).
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan pada bahan indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Rasionalisme secara epistemologi, mengutamakan rasio untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme memandang bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan dan pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum ”sebab-akibat” karena peristiwa yang tak terhingga dalam kejadian alam ini tidak mungkin dapat diamati.
Indra dan akal yang bekerja sama belum juga dapat dipercaya mampu mengetahui bagian-bagian tertentu tentang suatu objek. Manusia mampu menangkap keseluruhan objek beserta intuisinya. Jika yang bekerja hanya rasio, maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat. Dan pengetahuan filsafat itu sendiri ialah pengetahuan logis tanpa didukung data empiris. Jadi, pengetahuan filsat ialah pengetahuan yang sifatnya berupa hal-hal logis saja.
Rasionalisme pada aksiologi, berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena Rasionalisme tidak mengakui nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut Rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. Maka dengan akal pikiran kita dapat menggunakan perkataan maupun perbuatan sesuai dengan etika dan estetika yang berlaku di masyarakat melalui pendidikan.
Rasionalisme akan bermakna baik jika akal dan pengalaman yang dimiliki dapat digunakan untuk sesuatu yang bernilai, baik itu berupa etika maupun estetika dalam berprilaku. Misalnya seorang guru perlu memberikan contoh yang baik dalam menggunakan pakaian atau perkataan yang sopan kepada peserta didiknya sehingga peserta didik yang mengikutinya sebagai teladan juga akan mengikuti dan mencontoh bagaimana tatacara kesopanan guru tersebut ketika berbicara dan kesopanan guru tersebut dalam menggunakan pakaian.
Anti-Tesis
Paham yang berlawanan dengan Rasionalisme adalah Empirisme. Aliran ini lebih menekankan peranan pengalaman dan mengecilkan peran akal dalam memperoleh pengetahuan. Sebagai suatu doktrin, Empirisme adalah lawan dari Rasionalisme. Dalam menguatkkan doktrinnya, emperisme mengembangkan dua teori, yaitu teori tentang makna yang begitu tampak pada pemikiran John Locke dalam buku An Essay concerning human understanding ketika ia menentang innate idea (ide bawaan) Rasionalisme Descartes. Teori tentang makna kemudian dipertegas oleh D. Hume dalam bukunya Treatise of human nature dengan cara membedakan antara idea dan kesan (impression).
Selain akal, pengalaman mempunyai peran dalam membentuk pengetahuan peserta didik yang bersifat abstrak yang dapat ditemui dalam sifat yang berbentuk konkret. Oleh karena itu, pengalaman yang langsung didapat dari pancaindra kita dapat di proses menjadi pengetahuan berdasarkan kontruktif yang dapat bertahan lama dalam ingatan peserta didik.
Rasionalisme memberikan kebebasan akal dalam melakukan hal yang terbaik dalam pendidikan, namun pengalaman memberikan contoh terbaik dalam memberikan etika dan estetika yang berlaku dan sesuai di dalam masyarakat. Melalui empirislah seseorang dapat belajar bagaimana etika yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang dalam kalangan suatu komunitas tertentu dengan memperhatikan aturan yang berlaku.
Sintesis
Sintesis dari filsafat pendidikan ini adalah Rasionalisme dan Empirisme itu saling mempunyai keterkaitan satu sama lainnya dalam mendapatkan pengetahuan. Aliran Rasionalisme lebih menggunakan akal dalam mendapatkan pengetahuannya sedangkan aliran emperisme lebih mengandalkan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang didapatkannya.
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran Empirisme disebabkan karena kelemahan alat indra, dan dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme dan Empirisme dalam pandangan kritisisme sudah terjebak pada paham eklusivisme, kedua aliran ini sama-sama mempertahankan kebenaran, seperti Rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, sementara Empirisme mengatakan sumber pengetahuan adalah pengalaman, padahal masing-masing aliran ini memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam kondisi seperti itu Immanual Kant tampil untuk mendamaikan kedua aliran tersebut, menurut Kant bahwa pengetahuan merupakan hasil kerja sama dua unsur yaitu ‘pengalaman inderawi’ dan ‘keaktifan akal budi’. Pengalaman inderawi merupakan unsur aposteriori (yang datang kemudian), akal budi merupakan unsur apriori (yang datang lebih dulu). Empirisme dan Rasionalisme hanya mementingkan satu dari dua unsur ini. Kant telah memperlihatkan bahwa pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis (Hamersma, 1992).

Konstruksi-Sosial


Filsafat Pendidikan Konstruksi-Sosial
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Istilah  konstruksi  atas  realitas  sosial (social  construction  of reality)  menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge Tahun 1966. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif (Tamburaka, 2012:75).
Hal ini berpengaruh dengan tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat. Kenyataan hidup sehari-hari, yang diterima sebagai kenyataan oleh  masyarakat merupakan faktisitas yang memaksa dan sudah jelas dengan sendirinya, dan juga akan berlangsung terus-menerus. Masyarakat dapat saja menyangsikan atau megubahnya, sehingga untuk megubah kenyataan perlu peralihan yang sangat besar, kerja keras, dan pikiran kritis. Kenyataan hidup merupakan berupa kegiatan rutin sehari-hari berlangsung terus tanpa interupsi maka kenyataan itu tidak menimbulkan masalah. Kesinambungan kenyataan muncul dimana suatu masalah, misalnya konstruksi sosial yang terjadi pada peserta didik dalam mengikuti lembaga bimbingan belajar, kesinambungan terjadi ketika peserta didik memiliki pandangan berbeda pada lembaga bimbingan belajar  non formal. Peserta didik di sisi lain memiliki pandangan positif  pada lembaga bimbingan sehingga objektivasi terhadap lembaga bimbingan belajar bernilai positif begitupun sebaliknya. (Prastiwi, 2014:4-5).
Konstruksi-sosial secara ontologis, berusaha memberikan pemahaman tentang makna, norma, peran, dan aturan bekerja dalam komunikasi. Teori-teori dalam tradisi ini mengeksplorasi dunia interaksional dan menyatakan bahwa rangkaian tatanan diluar tidaklah objektif, tapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, komunitas, dan budaya (Littlejohn & Foss, 2008; Littlejohn & Foss, 2011). Fokus teori-teori dalam paradigma ini adalah pola interaksi antarindividu yang prosesnya melibatkan makna, peran, aturan, dan nilai-nilai budaya. Teori dalam tradisi ini kurang memberikan perhatian pada kajian di level individu walaupun berkaitan dengan bagaimana memproses informasi secara kognitif.  Sebaliknya, teori ini lebih menaruh perhatian pada bagaimana memahami orang menciptakan realitas secara bersama-sama dikelompok, organisasi. Tradisi ini tidak berkaitan dengan usaha memahami bagaimana karakteristik individu. Semua pengetahuan menurut tradisi ini bersifat interpretif dan dikonstruksi. Budaya konteks dalam tradisi ini dinilai memainkan peran penting dalam komunikasi. Simbol dianggap penting pada semua interaksi namun maknanya berbeda-beda sesuai dengan situasi (Littlejohn & Foss, 2008; Craig & Muller, 2007).
Secara epistemologi, konstruksi-sosial adalah suatu istilah yang digunakan oleh Berger dan Luckman untuk mengembangkan proses dimana melalui tindakan dan interaksinya menciptakan terus menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama  yang dialami secara factual obyektif dan penuh arti secara subyektif. Dengan adanya konstruksi sosial sehingga sebagian besar individu memilki sifat subyektif dikarenakan struktur dalam dunia sosial sangat berpengaruh terhadap kesadaran individu, secara langsung maupun tidak langsung individu sangat sulit untuk bersifat obyektif dalam dunia sosial. Begitu pula konstruksi sosial juga dapat berdampak negatif maupun positif, sesuai tujuan masyarakat sosial dimana masyarakat dapat menerima fenomena yang terjadi dengan baik akan menimbulkan konstruksi sosial yang berdampak positif, begitu pula bila masyarakat tidak dapat menerima fenomena dalam masyarakat akan berdampak negatif. (Prastiwi, 2014: 3).
Konstruksi-sosial adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008: 28).
Mengenai kajian aksiologis khususnya di bidang pendidikan, konstruksi sosial merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001: 3). Pandangan konstruksi sosial dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing peserta didik ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003).
Konstruks- sosial terjadi karena adanya interaksi dari kelompok-kelompok sosial yang memiliki tujuan  yang sama dan pandangan yang sama pula yang terjadi secara terus-menerus dan berulang-ulang (Prastiwi, 2013:7). Lembaga belajar merupakan suatu proses timbal balik yang meliputi proses aksi reaksi, stimulus dan respon dalam suatu bentuk kontak sosial, komunikasi sosial dan tindakan sosial. Kesadaran individu terhadap lingkungan sekitar, dimana subjek memaknai, melihat dirinya sebagai individu yang tidak bisa bebas dari pengaruh perlakuan lingkungan terhadap dirinya. Pendidikan luar sekolah atau nonformal adalah kegiatan yang sistemik, yaitu kegiatan yang memiliki komponen, proses, dan tujuan program. Berdasarkan sub system pendidikan luar sekolah maka komponen-komponen program pendidikan luar sekolah terdiri atas masukan lingkungan (environmental input), masukan sarana (instrumental input), masukan mentah (raw input), dan masukan lain (other input).
Anti-Tesis
Bagi kaum konstruksi-sosial, pengetahuan itu bukanlah suatu yang sudah pasti, tetapi merupakan suatu proses menjadi. Menurut Wadsworth dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Konstruksi-sosial harus dipahami sebagai roh yang menggerakkan subyek-subyek pendidikan sehingga akan lahirlah inovasi-inovasi baru dalam pendidikan dan pengajaran. Saran yang dapat penulis berikan pada penulisan makalah ini adalah sebaiknya sistem pembelajaran yang diterapkan mengacu pada pendekatan karena dari karakteristik pembelajarannya yang dapat memberikan sumbangan besar dalam membentuk manusia yang kreatif, produktif, dan mandiri. Guru sebagai subjek sentral dalam pendidikan harus memiliki wawasan baru dan luas dalam model-model pembelajaran. Sekolah dan penyelenggaranya harus memiliki visi dan misi yang jelas yang menjangkau masa depan, dan melengkapi dengan sarana prasarana yang memadai sehingga peserta didik bisa berkembang secara optimal dan alamiah.
Sintesis
Filsafat Konstruksi-sosial beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai. Prinsip-prinsip Konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika, namun demikian sekarang prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan ke dalam semua mata pelajaran.
Kaum konstruktivis-sosial berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik.

Konstruktivisme


Filsafat Pendidikan Konstruktivisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Secara etimologi, Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (Pannen dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan  guru yang membimbing peserta didik ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin, 2003).
Konstruktivisme dalam domain ontologi merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahwa anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya. Dengan kata lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamannya (Djamarah, 2010:207). Konstruktivisme adalah istilah luas yang digunakan oleh para filsuf, perancang kurikulum, psikologi, pendidik dan lain-lain. Ernst Von Glasserfeld menyebutnya “bidang yang sangat luas dan tidak jelas dalam psikologi, epistimologi dan pendidikan” (1997: 204) Perspektif konstruktivis berpijak pada penelitian, Piaget, Vygotsky, para psikolog Gestalt, Bartlett dan Bruner maupun falsafah Jhon Dewey (Woolfolk, 2009:145). Kaum Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan itu bukanlah sekedar potret kenyataan dunia semata, tetapi pengetahuan adalah hasil dari konstruksi atau bentukan melalui kegiatan subyek. Dimana subyek itu adalah manusia itu sendiri. Pengetahuan yang dibentuk ini selalu merupakan konsekuensi dari konstruksi kognitif mengenai kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Manusia tidak dapat pernah mengerti realitas sesungguhnya secara ontologis (hakikat keberadaan) dan hanya dapat mengerti mengenai struktur konstruksi dari suatu obyek. Bentukan atau konstruksi itu harus berjalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Piaget and Inhelder (1971) mendeskripsikan tentang konstruksi merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan yang terorganisasi daan terkonstruksi dari suatu pemahaman. Pandangan konstruksi menganggap bahwa pengetahuan adalah seluruh yang merujuk pada pengalaman manusia akan segala sesuatu yang ada di dunia bukan dunia itu sendiri.
Pada kajian epistemologis, Nicholas Onuf sering diakui sebagai tokoh yang mencetuskan istilah “Konstruktivisme” untuk menyebut teori yang menegaskan konstruksionisme sosial dalam hubungan internasional. Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi yang dibangun oleh diri sendiri sehingga sangat tidak mungkin melakukan transfer pengetahuan dari pengajar ke pembelajar. Pengetahuan membangun pengetahuan tidak seperti suatu barang atau diumpakan seperti air yang dapat ditumpahkan ke dalam ember karena sang pengajar pada hakikatnya sama sekali tidak kehilangan pengetahuan ketika berhasil memberikan orang lain pengetahuan.
Pembelajaran konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui pengalaman, interaksi sosial, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah pembelajaran berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber belajar dalam pembelajaran (Yamin, 2012:10). Prinsip-prinsip dasar Konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi dirinya terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi sosial, Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan), fleksibel menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam perspektif) untuk menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di dunia secara bebas.
Selanjutnya aspek aksiologis kontruktivisme dalam konteks pendidikan banyak mempengaruhi pendidikan sains dan matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia (Suparno, 2008). Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diambil adalah: 1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara individu maupun sosial, 2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar, 3) murid aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus. Selain itu, pembelajaran konstruktivistik memandang bahwa peserta didik secara terus menerus memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi  (Danarjati, dkk: 2013). Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mendorong agar peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan belajar, yaitu: 1) suasana lingkungan belajar harus demokratis; 2) kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif dan berpusat pada peserta didik; 3) pendidik mendorong peserta didik agar belajar mandiri dan bertanggungjawab atas kegiatan belajarnya.
Dalam aliran filsafat, gagasan Konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa  dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa 8 kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘cogito, ergo sum’ atau ‘saya berfikir karena itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan Konstruktivisme sampai saat ini.
Anti-Tesis
Pengetahuan menurut filsafat Konstruktivisme berbeda dengan filsafat klasik, bahwa pengetahuan itu adalah bentukan para peserta didik sendiri. Pendidikan yang diistilahkan oleh Konstruktivisme adalah kegiatan mengajar, tetapi bukan mengajar dalam arti mentransfer pengetahuan dari seorang guru kepada murid, mengadar dalam artian Konstruktivisme lebih kepada kegiatan untuk peserta didik membangun dan membentuk pengetahuannya sendiri.
Konstruktivisme menolak pandangan dari filsafat Idealisme yang mengungkapkan bahwa realitas yang hakiki bersifat ideal/spiritual. Realitas dalam Idealisme diturunkan dari substansi fundamental yang bersifat non-material. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata sesungguhnya di ciptakan dari pikiran, jiwa, dan roh seseorang. Sedangkan dalam konsep Konstruktivisme realitas itu tiada lain adalah fenomena sejauh dari apa yang difahami oleh orang yang menangkapnya. Dalam Konstruktivisme, bentuk kenyataan bergantung pada kerangka bentukan yang dibuat individu dan dari interaksi pengamatan individu dengan obyek yang diamati. Demikian para ahli Konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana individu atau manusia menjadi tahu akan suatu hal.
Sintesis
Konstruktivisme merupakan suatu aliran filsafat pengetahuan yang menitikberatkan pada konstruksi pengetahuan yang dibangun dan bukan gambaran dari dunia yang ada. Pengetahuan merupakan dampak dari kosntruksi pengetahuan, kognitif, mental, dan pengalaman yang terjadi melalui serangkaian aktivitas. Pengetahuan tidak hanya mencakup hal hal yang teramati akan tetap ciptaan dari manusia berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman yang dialami. Pengetahuan adalah suatu hal yang berjalan terus menerus dan terorganisasi menjadi pengalaman baru.
Konstruktivisme dikenal dalam dunia pembelajaran dengan tokohnya yaitu Jean Piaget (1896-1980) dan Vygotsky (1896-1934) yang mengembangkan teori mengenai perkembangan anak dan kaitannya sebagai pembelajar. Terdapat dua proses utama yaitu proses asimilasi dan akomodasi yang terjadi ketika individu menggunakan kedua proses tersebut untuk membangun pengetahuan dan pemahamannya. Dalam tujuan pendidikan nasional yaitu untuk membantu generasi muda Indonesia menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia yang sesungguhnya, yang pandai secara kognitif, bermoral sesuai landasan Negara, berbudi luhur, beriman, peka dan memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kaum Konstruktivisme meyakini bahwa panca indra lah satu-satunya alat, sarana, atau media yang tersedia bagi seorang individu untuk mengetahui segala sesuatu. Seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara melihat, mendengar, mencium, dan merasa untuk membangun gambaran dunianya, untuk membangun membentuk suatu pengetahuan dan kebenaran. Simpulnya Konstruktivisme mengajarkan hakikat kebenaran itu ialah apa-apa yang dibangun indra kita.

Postmodernisme


Filsafat Pendidikan Postmodernisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Aliran “Postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui berbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lain.
Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima apa adanya. Postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya Modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Postmodemisme timbul sebagai akibat kegagalan aliran kehidupan modern yang ditandai dengan kesenjangan kehidupan dunia barat dan timur, kekerasan atas manusia lain, kelaparan, keterasingan, penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara fisik dan mental.
Postmodernisme secara ontologis, berarti kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah Postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Semangat Postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena bagi kaum Postmodernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak ada yang mutlak. Suatu konstruksi akan terus dipertanyakan tentang kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat karena mustahil menemukan kebenaran yang hakiki. (Kristiawan, 2016: 247-248).
Hidayat (2006:1992) mengemukakan bahwa Postmodern ini muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental yang diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat pastikular dan khusus dan (ironisnya) dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat waktu.
Postmodernisme secara epistemologi, uncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Oleh karena itu, Postmodernisme menghimbau agar berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni yang terjadi. Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka generalogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”. Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, namun juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja. (Nadia, 2014:7)
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Kajian aksiologis dari Postmodernisme yang lain adalah berwatak Relativisme, artinya pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, dan sebagainya. nilai-nilai budaya bersifat relatif, dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran Postmodernisme yaitu bahwa wilayah, budaya, bahasa, agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat istiadat masing-masing. Dari sinilah Nampak jelas bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu relatif dan tidak boleh absolut, karena harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi kaum Postmodernisme bersifat relatif, tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu.
Anti-Tesis
Pemikiran Postmodernisme adalah pemikiran yang menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai sumber. Kritik Postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia. Dalam kondisi yang demikian Postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.
Postmodernisme muncul sebagai kritik atas akibat kegagalan aliran kehidupan modern dalam menciptakan situasi sosial yang ditandai dengan kesenjangan kehidupan dunia barat dan timur, adanya kekerasan atas manusia lain, kelaparan, keterasingan, penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara fisik dan mental. Hal ini sebagai akibat dari kegagalan ilmu dan pengetahuan melayani kehidupan manusia itu sendiri (karena keegoisan manusia). Keadaan tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan berkaitan dengan masalah pengetahuan dasar manusia mengenai Modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya.
Sintesis
Postmodernisme adalah kecenderungan yang mendapat ekspresi melalui berbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lain dengan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis.
Terminologi Postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan pada bidang pendidikan secara ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-tema besar yang diusung oleh Postmodernisme, maka secara implisit paradigma pendidikan yang ada di Indonesia dalam banyak hal sudah menggunakan akar-akar pemikiran Postmodernisme. Namun, hal pasti yang diperjuangkan oleh kaum Postmodernisme adalah pembelaannya terhadap suatu komunitas dan narasi kehidupan yang tersingkir, yang telah tergilas oleh narasi besar (grand narative) Modernisme dengan berbagai dimensi yang dominatif dan imperalistik.
Arus pemikiran Postmodernisme bagaikan sebuah protes terhadap berbagai pemikiran yang absolutistik yang cenderung untuk menampakkan fenomena Modernisme: seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, tradisi, dan sebagai substitusinya tak lain adalah pendekatan yang bersifat relativistik dan pluralistik dengan sikap kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengapresiasi hal yang lain.

Modernisme

Filsafat Pendidikan Modernisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Modernisme sebagai istilah kunci dalam studi ini memiliki arti yang secara harfiah bermakna “baru”. Istilah ini populer atau sering disebut dengan istilah modern time (zaman baru) atau  characteristic of the present or the recent time (ciri dari zaman sekarang atau zaman kini). Istilah modernisasi itu berasal dari kata modernus (bahasa Latin) yang pertama kali dipakai oleh kalangan Kristen sekitar pada tahun 490 M (filsafat Helenik dan Romawi) yang menunjukkan adanya perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Sedangkan modernization bermakna pembaharuan, selanjutnya kata Modernisme (modernism) is modern views or methods especially tendency in matters or religious belief to subordinate tradition to harmony with modern thought (Sou, 1987:51). Berdasarkan beberapa term yang berkaitan dengan  modern di atas,  maka modernisasi dapat dipahami sebagai sesuatu yang kontemporer atau mengikuti zaman dan menaklukan alam semesta (dari pemahaman cosmosentris-antroposentris). Maksudnya  bahwa modern adalah sesuatu yang terpisah dari yang transenden dan dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan diberitakan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian yang paling universal.
Modernisme secara ontologi, bermakna ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah hakikat dibalik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi panca indra. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap kekal tanpa perubahan, apakah realita itu berbentuk satu unsur, dua unsur atau terdiri dari unsur yang banyak.
Kemudian Modernisme dalam epistemologi, merupakan pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari penyelidikan hingga akhirnya diketahui manusia untuk membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.
Selanjutnya secara aksiologi, filsafat pendidikan Modernisme merupakan suatu aliran pendidikan yang menguji dan mengintregasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Kemudian nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam kepribadian anak agar dapat menyesuaikan tingkahlakunya dengan lingkungan sehari-hari.
Anti-Tesis
Sejarah filsafat modern lalu bisa dilukiskan sebagai pemberontakan intelektual terus menerus terhadap metafisika tradisional. Karena pemikiran yang berdasarkan pada iman (teologi) lebih dikalahkan oleh pemikiran yang berdasarkan pada akal (rasio). Disisi lain filsafat modern juga menjadi sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berfikir yang sebelumnya didominasi oleh pemikiran metafisika tradisional yang didukung oleh kekuasaan gereja. Pada posisi ini mendukung radikalisasi lebih lanjut yaitu pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat.
Modernisme lebih mempermasalahkan kepada hal- hal yang bersifat antroposentris yaitu bagaimana menemukan dasar pengetahuan yang shohih tentang semua itu hal ini menjadi sebuah usaha untuk melepaskan diri dari tradisi. Oleh karena itu, diluncurkan tema-tema sebagai refleksi baru seperti: rasio, persepsi, afeksi sehingga pada masa filsafat modern ini pengetahuan baru sudah banyak muncul seperti yang sekarang ini kita kenal dengan “ilmu pengetahuan modern” yakni ilmu-ilmu alam. bahwa manusia bisa mengadakan perubahan-perubahan secara kualitatif.
Pokok permasalahan pada masa ini, sebagaimana periode skolastik adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era Renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan baik sebagai individu maupun sosial. Modern memang mengandung banyak kritikan terutama adanya paham postmodern yang dimana di dalamnya mengkritik keras terhadap gagalnya modernisasi di dunia, namun walaupun demikian postmodern tidak mampu memberikan solusi atas kritikannya terhadap modern. Dengan demikian, modern terutama di dunia pendidikan sangatlah membantu sekali seperti dalam sarana teknologi dan pemikiran lainnya. Hal ini memudahkan manusia untuk memaksimalkan hidupnya dalam kehidupan sehari-hari dan masa yang akan datang walaupun memang terdapat hal-hal yang negatif tapi itu terserah pada manusia itu sendiri dengan cara apa mereka melakukan atau memanfaatkan modern.
Sintesis
Filsafat pendidikan modern pada zaman renaissance mempunyai kelebihan yaitu sudah menggunakan akal (pikiran) sebagai dasar filsafat. Dengan menggunakan pikiran (akal) sebagai dasar filsafat maka masalah-masalah yang terjadi dapat juga diselesaikan dengan menggunakan akal (pikiran) untuk menyelesaikannya.
Sintesis filsafat pendidikan pendidikan modern adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengembangkan pengetahuan baru yang sudah banyak muncul seperti yang sekarang ini kita kenal dengan “ilmu pengetahuan modern” yakni ilmu-ilmu alam. bahwa manusia bisa mengadakan perubahan-perubahan secara kualitatif. Modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’.