Selasa, 15 Januari 2019

Postmodernisme


Filsafat Pendidikan Postmodernisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Aliran “Postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui berbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lain.
Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima apa adanya. Postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya Modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Postmodemisme timbul sebagai akibat kegagalan aliran kehidupan modern yang ditandai dengan kesenjangan kehidupan dunia barat dan timur, kekerasan atas manusia lain, kelaparan, keterasingan, penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara fisik dan mental.
Postmodernisme secara ontologis, berarti kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah Postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Semangat Postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena bagi kaum Postmodernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak ada yang mutlak. Suatu konstruksi akan terus dipertanyakan tentang kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat karena mustahil menemukan kebenaran yang hakiki. (Kristiawan, 2016: 247-248).
Hidayat (2006:1992) mengemukakan bahwa Postmodern ini muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental yang diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat pastikular dan khusus dan (ironisnya) dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat waktu.
Postmodernisme secara epistemologi, uncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Oleh karena itu, Postmodernisme menghimbau agar berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni yang terjadi. Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka generalogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”. Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, namun juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja. (Nadia, 2014:7)
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Kajian aksiologis dari Postmodernisme yang lain adalah berwatak Relativisme, artinya pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, dan sebagainya. nilai-nilai budaya bersifat relatif, dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran Postmodernisme yaitu bahwa wilayah, budaya, bahasa, agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat istiadat masing-masing. Dari sinilah Nampak jelas bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu relatif dan tidak boleh absolut, karena harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi kaum Postmodernisme bersifat relatif, tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu.
Anti-Tesis
Pemikiran Postmodernisme adalah pemikiran yang menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai sumber. Kritik Postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia. Dalam kondisi yang demikian Postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.
Postmodernisme muncul sebagai kritik atas akibat kegagalan aliran kehidupan modern dalam menciptakan situasi sosial yang ditandai dengan kesenjangan kehidupan dunia barat dan timur, adanya kekerasan atas manusia lain, kelaparan, keterasingan, penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara fisik dan mental. Hal ini sebagai akibat dari kegagalan ilmu dan pengetahuan melayani kehidupan manusia itu sendiri (karena keegoisan manusia). Keadaan tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan berkaitan dengan masalah pengetahuan dasar manusia mengenai Modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya.
Sintesis
Postmodernisme adalah kecenderungan yang mendapat ekspresi melalui berbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lain dengan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis.
Terminologi Postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan pada bidang pendidikan secara ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-tema besar yang diusung oleh Postmodernisme, maka secara implisit paradigma pendidikan yang ada di Indonesia dalam banyak hal sudah menggunakan akar-akar pemikiran Postmodernisme. Namun, hal pasti yang diperjuangkan oleh kaum Postmodernisme adalah pembelaannya terhadap suatu komunitas dan narasi kehidupan yang tersingkir, yang telah tergilas oleh narasi besar (grand narative) Modernisme dengan berbagai dimensi yang dominatif dan imperalistik.
Arus pemikiran Postmodernisme bagaikan sebuah protes terhadap berbagai pemikiran yang absolutistik yang cenderung untuk menampakkan fenomena Modernisme: seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, tradisi, dan sebagai substitusinya tak lain adalah pendekatan yang bersifat relativistik dan pluralistik dengan sikap kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengapresiasi hal yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar