Filsafat Pendidikan Postmodernisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis
Aliran “Postmodernisme”
lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada
sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi
melalui berbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lain.
Postmodernisme dalam
filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk
kebenaran yang selama ini diterima apa adanya. Postmodernisme menyadari
bahwa seluruh budaya Modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan
teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran
epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu
adalah ‘rasional’. Postmodemisme timbul sebagai akibat kegagalan aliran
kehidupan modern yang ditandai dengan kesenjangan kehidupan dunia barat dan
timur, kekerasan atas manusia lain, kelaparan, keterasingan, penihilan nilai
manusia, serta penjajahan secara fisik dan mental.
Postmodernisme
secara ontologis, berarti
kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia dan ideologi-ideologi modern. Dengan
kata lain, istilah Postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk
refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya.
Semangat Postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi
yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena
bagi kaum Postmodernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak
ada yang mutlak. Suatu konstruksi akan terus dipertanyakan tentang
kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat karena mustahil menemukan kebenaran
yang hakiki. (Kristiawan, 2016: 247-248).
Hidayat (2006:1992)
mengemukakan bahwa Postmodern ini muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia
modern dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan
berkeadilan sosial. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai
suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental yang
diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat pastikular dan khusus
dan (ironisnya) dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan tidak
terikat waktu.
Postmodernisme
secara epistemologi, uncul
untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Oleh
karena itu, Postmodernisme menghimbau agar berusaha keras untuk mengakui adanya
identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni yang terjadi. Postmodernisme
mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan
menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka generalogi
(pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi
mempunyai banyak “sentral”. Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak
hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan
keuntungan saja, namun juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar
material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
(Nadia, 2014:7)
Postmodernisme sebagai
suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat
Barat yang mengajak untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk
tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu
“dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa
kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya
gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai
hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Kajian aksiologis dari Postmodernisme yang
lain adalah berwatak Relativisme, artinya pemikiran Postmodernisme dalam hal
realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam
teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan
antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu
dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan Indonesia.
Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar
belakang sejarah, geografis, dan sebagainya. nilai-nilai budaya bersifat
relatif, dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran Postmodernisme yaitu bahwa
wilayah, budaya, bahasa, agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat
istiadat masing-masing. Dari sinilah Nampak jelas bahwa para pemikir
Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu relatif dan tidak boleh
absolut, karena harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada.
Dapat disimpulkan
bahwa ilmu pengetahuan bagi kaum Postmodernisme bersifat relatif, tidak ada
ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa
tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak
hanya terfokus pada satu sisi tertentu.
Anti-Tesis
Pemikiran
Postmodernisme adalah pemikiran yang menentang segala hal yang berbau
kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau
pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis serta memanfaatkan nilai-nilai
yang berasal dari berbagai sumber. Kritik Postmodernisme atas situasi
masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang
hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian Postmodernisme tampil memberikan berbagai
alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.
Postmodernisme muncul
sebagai kritik atas akibat kegagalan aliran kehidupan modern dalam
menciptakan situasi sosial yang ditandai dengan kesenjangan kehidupan dunia
barat dan timur, adanya kekerasan atas manusia lain, kelaparan, keterasingan,
penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara fisik dan mental. Hal ini
sebagai akibat dari kegagalan ilmu dan pengetahuan melayani kehidupan manusia
itu sendiri (karena keegoisan manusia). Keadaan tersebut melahirkan sejumlah
kegelisahan berkaitan dengan masalah pengetahuan dasar manusia mengenai
Modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya.
Sintesis
Postmodernisme adalah
kecenderungan yang mendapat ekspresi melalui berbagai sarana konseptual yang
sangat berbeda satu sama lain dengan menghindari suatu sistematika uraian atau
pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis.
Terminologi
Postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan pada bidang pendidikan secara
ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-tema besar yang diusung oleh
Postmodernisme, maka secara implisit paradigma pendidikan yang ada di Indonesia
dalam banyak hal sudah menggunakan akar-akar pemikiran Postmodernisme. Namun,
hal pasti yang diperjuangkan oleh kaum Postmodernisme adalah pembelaannya
terhadap suatu komunitas dan narasi kehidupan yang tersingkir, yang telah
tergilas oleh narasi besar (grand
narative) Modernisme dengan berbagai dimensi yang dominatif dan
imperalistik.
Arus pemikiran
Postmodernisme bagaikan sebuah protes terhadap berbagai pemikiran
yang absolutistik yang cenderung untuk menampakkan fenomena
Modernisme: seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman
personal, tradisi, dan sebagai substitusinya tak lain adalah pendekatan yang
bersifat relativistik dan pluralistik dengan sikap kerendahan hati untuk
mendengarkan dan mengapresiasi hal yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar