Selasa, 15 Januari 2019

Relativisme


Filsafat Pendidikan Relativisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Pendidikan Relativisme Mutlak mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan demikian maka bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial,  Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak, dan Hedonisme (Marsigit, 2014).
Relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Aliran ini memandang bahwa semua kebenaran adalah relatif yang digagas oleh Protagoras. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Paham Relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
Hakikat atau kajian ontologi mengenai Relativisme secara substansial adalah moral, budaya, dan agama. Relativisme  kultural adalah teori tentang hakikat moralitas. Pada kesan pertama, tampaknya masuk akal  (Rachel, 2004:47). Lebih lanjut Rachel menyatakan, dan jikalau kita analisis  Relativisme  kultural, kita dapatkan bahwa ternyata tidak begitu rasional sebagaimana tampaknya pada penampilan pertama. Bila kita perhatikan, maka pada dasar  Relativisme  kultural, ternyata terdapat sesuatu bentuk argumentasi.
Strategi yang digunakan oleh kaum Relativisme kultural adalah berargumentasi dari fakta mengenai adanya perbedaan pandangan kultural menuju pada suatu kesimpulan mengenai status moralitas. Dengan demikian argumentasi-argumentasi ini merupakan variasi dari suatu gagasan dasar. Pada kasus-kasus khusus dari satu argumentasi yang lebih umum menyatakan bahwa: kebudayaan yag berbeda mempunyai kode-kode moral yang berbeda sehingga tidak  ada “kebenaran”  obyektif  dalam moralitas. Benar  atau salah  hanyalah soal pandangan dan pandangan-pandangan itu bervariasi dari  satu budaya kebudaya lain. Argumentasi-argumentasi tersebut dapat kita sebut sebagai argumen perbedaan  kultural. (Wibowo dan Satrijo, 2015:11).
Tinjauan epistemologi mengenai Relativisme adalah sebagai berikut. Bartens (2007:69-72) mengemukakan bahwa Doktrin Relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490 SM-420 SM), tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis pertama dan juga yang paling terkenal. Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai orator dan pendebat ulung. Ditambah lagi, ia terkenal sebagai guru yang mengajar banyak pemuda pada zamannya.  Ia berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu manusia yang merasakan sesuatu itu dengan panca indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi orang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang yang merasakan tersebut.
Pada dimensi kebermanfaatan atau aksiologis Relativisme dalam konteks pendidikan Wibowo dan Satrijo (2015:19) menguraikan Relativisme sebagai berikut: Pertama, Relativisme  mengingatkan kita, secara benar, mengenai bahaya pengandaian/perumpamaan yang seolah-olah semua pilihan yang kita ambil berdasarkan pada suatu standar rasional yang mutlak. Pada hal tidak semua yang kita lakukan  hanya cocok untuk  masyarakat kita saja, sehingga seringkali tidak berpijak pada fakta yang sebenarnya. Karena itu teori ini berguna bagi kita, sekadar untuk mengingatkan diri kita sendiri. Kedua, Relativisme ini ada kaitannya dengan keterbukaan pikiran. Dalam pertumbuhan seseorang dapat menerima berbagai perasaan yang kuat. Kita bisa belajar berpikir mengenai  sejumlah tipe tindakan yang bisa  diterima, sementara yang lain kita pelajari sebagai yang tidak bisa kita terima. Relativisme menyediakan perangkat untuk dogmatisme, yang terbentuk oleh pandangan-pandangan moral yang merupakan cerminan dari kecurigaan.  Kita mugkin dapat memahami bahwa perasaan kita tidak selalu merupakan persepsi kebenaran,  persepsi kita mungkin tidak lebih dari sekadar hasil pengondisian kultural saja.
Pada tataran praktis di dunia pendidikan, Relativisme merupakan hasil dari perjuangan kaum postmodern yang berusaha membrontak tatanan yang sudah mapan. Situasi di era postmodern digambarkan sebuah penolakan terhadap paradigm-paradigma besar, lama, kokoh, dan tak tersentuh. Postmodern acapkali menolak apapun yang selama ini tidak bisa ditolak sekalipun, hasil dari ideologi besar ini adalah pendidikan yang mengacu pada konteks yang tumbuh di sekitarnya.
Anti-Tesis
Pernyataan bahwa “kebenaran itu relatif” sebenarnya juga kontradiktif (self-contradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu sendiri juga termasuk relatif alias belum tentu benar. Karena pernyataan “kebenaran itu relative” belum tentu benar, maka dimungkinkan ada pernyataan lain yang berbunyi “kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga relative”, dan pernyataan ini juga dapat dianggap benar. Tidak sedikit filsuf yang menganut aliran ini. Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benar-salahnya sesuatu tergantung pada individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa ‘penilaian moral’ (moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu; sementara Hegel menegaskan bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang salah.
Seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang tersebut mestinya telah mengetahui kebenaran yang diketahui Tuhan itu. Jika dia tidak tahu maka mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar secara absolute hanya Tuhan. Jika dia tahu maka pengeteahuannya itu absolute. Jadi dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu bisa relatif dan juga bisa absolut.
Sintesis
Sintesis paham ini adalah tindakan yang dianggap tidak beretika di satu tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku, budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif.
Kaum Relativisme melihat kebenaran etika terdapat dalam setiap kebudayaan. Akibatnya dalam menilai kebenaran etika suatu perbuatan bisa dihasilkan begitu banyak pandangan yang berbeda-beda sehingga kebenaran yang dihasilkan tersebut tidak dapat dipercaya. Tanpa adanya suatu ukuran yang berlaku umum akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam melakukan hubungan kerja sama antara kebudayaan. Hal ini dikarenakan setiap kebudayaan tetap berpegang pada keyakinan mereka masing-masing.
Berkaitan dengan Relativisme etika, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki segi positif, aliran Relativisme ini juga memiliki segi negatif. Hal negatif tersebut ialah tidak adanya suatu ukuran moral ideal yang dapat dijadikan pegangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Karena ukuran tersebut sudah ada dan dipercaya sejak dahulu maka sulit untuk diadakan suatu perubahan-perubahan etika. Padahal mungkin saja keyakinan tersebut tidak sesuai lagi dengan konteks zaman saat ini. Oleh karena itu adanya suatu ukuran moral ideal yang bersifat universal bagi seluruh kebudayaan mutlak diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar