Filsafat Pendidikan Relativisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis
Pendidikan Relativisme Mutlak
mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan demikian maka bersifat
Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai bersifat
Materialisme, Dunia yang Parsial,
Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak, dan Hedonisme (Marsigit, 2014).
Relativisme berpendapat
bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing
orang dan budaya masyarakatnya. Aliran ini memandang bahwa semua kebenaran
adalah relatif yang digagas oleh Protagoras. Dengan kata lain bahwa ilmu
pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya,
masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat
mutlak. Paham Relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk
tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif
tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
Hakikat atau
kajian ontologi mengenai
Relativisme secara substansial adalah moral, budaya, dan agama.
Relativisme kultural adalah teori tentang hakikat moralitas. Pada
kesan pertama, tampaknya masuk akal (Rachel, 2004:47). Lebih lanjut
Rachel menyatakan, dan jikalau kita
analisis Relativisme kultural, kita dapatkan bahwa
ternyata tidak begitu rasional sebagaimana tampaknya pada penampilan pertama.
Bila kita perhatikan, maka pada dasar Relativisme kultural,
ternyata terdapat sesuatu bentuk argumentasi.
Strategi yang digunakan
oleh kaum Relativisme kultural adalah berargumentasi dari fakta mengenai adanya
perbedaan pandangan kultural menuju pada suatu kesimpulan mengenai status moralitas.
Dengan demikian argumentasi-argumentasi ini merupakan variasi dari suatu
gagasan dasar. Pada kasus-kasus khusus dari satu argumentasi yang lebih umum
menyatakan bahwa: kebudayaan yag berbeda mempunyai kode-kode moral yang berbeda
sehingga tidak ada “kebenaran” obyektif dalam
moralitas. Benar atau salah hanyalah soal pandangan dan
pandangan-pandangan itu bervariasi dari satu budaya kebudaya lain.
Argumentasi-argumentasi tersebut dapat kita sebut sebagai argumen
perbedaan kultural. (Wibowo dan Satrijo, 2015:11).
Tinjauan epistemologi mengenai Relativisme
adalah sebagai berikut. Bartens (2007:69-72) mengemukakan bahwa Doktrin
Relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490 SM-420 SM), tokoh Sophis
Yunani terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis pertama dan juga
yang paling terkenal. Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai
orator dan pendebat ulung. Ditambah lagi, ia terkenal sebagai guru yang
mengajar banyak pemuda pada zamannya. Ia berprinsip bahwa manusia
adalah ukuran segala sesuatu (man is the
measure of all things). Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu
bergantung pada individu manusia yang merasakan sesuatu itu dengan panca
indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi orang
sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab
pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang yang
merasakan tersebut.
Pada dimensi
kebermanfaatan atau aksiologis Relativisme
dalam konteks pendidikan Wibowo dan Satrijo (2015:19) menguraikan Relativisme
sebagai berikut: Pertama,
Relativisme mengingatkan kita, secara benar, mengenai bahaya
pengandaian/perumpamaan yang seolah-olah semua pilihan yang kita ambil
berdasarkan pada suatu standar rasional yang mutlak. Pada hal tidak semua yang
kita lakukan hanya cocok untuk masyarakat kita saja,
sehingga seringkali tidak berpijak pada fakta yang sebenarnya. Karena itu teori
ini berguna bagi kita, sekadar untuk mengingatkan diri kita sendiri. Kedua, Relativisme ini ada kaitannya
dengan keterbukaan pikiran. Dalam pertumbuhan seseorang dapat menerima berbagai
perasaan yang kuat. Kita bisa belajar berpikir
mengenai sejumlah tipe tindakan yang bisa diterima,
sementara yang lain kita pelajari sebagai yang tidak bisa kita terima.
Relativisme menyediakan perangkat untuk dogmatisme, yang terbentuk oleh
pandangan-pandangan moral yang merupakan cerminan dari
kecurigaan. Kita mugkin dapat memahami bahwa perasaan kita tidak
selalu merupakan persepsi kebenaran, persepsi kita mungkin tidak
lebih dari sekadar hasil pengondisian kultural saja.
Pada tataran praktis di
dunia pendidikan, Relativisme merupakan hasil dari perjuangan kaum
postmodern yang berusaha membrontak tatanan yang sudah mapan. Situasi di era
postmodern digambarkan sebuah penolakan terhadap paradigm-paradigma besar,
lama, kokoh, dan tak tersentuh. Postmodern acapkali menolak apapun yang selama
ini tidak bisa ditolak sekalipun, hasil dari ideologi besar ini adalah
pendidikan yang mengacu pada konteks yang tumbuh di sekitarnya.
Anti-Tesis
Pernyataan bahwa
“kebenaran itu relatif” sebenarnya juga kontradiktif (self-contradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu
sendiri juga termasuk relatif alias belum tentu benar. Karena pernyataan
“kebenaran itu relative” belum tentu benar, maka dimungkinkan ada pernyataan
lain yang berbunyi “kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga relative”, dan
pernyataan ini juga dapat dianggap benar. Tidak sedikit filsuf yang menganut
aliran ini. Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benar-salahnya sesuatu
tergantung pada individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa
‘penilaian moral’ (moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu;
sementara Hegel menegaskan bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang
benar dan yang salah.
Seseorang yang
menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang tersebut mestinya telah
mengetahui kebenaran yang diketahui Tuhan itu. Jika dia tidak tahu maka
mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar secara absolute hanya Tuhan. Jika
dia tahu maka pengeteahuannya itu absolute. Jadi dengan demikian pemikiran dan
pengetahuan manusia itu bisa relatif dan juga bisa absolut.
Sintesis
Sintesis paham ini
adalah tindakan yang dianggap tidak beretika di satu tempat, tidak bisa
ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku, budaya dan bahasa,
maka beda pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas etika suatu kaum
adalah relatif.
Kaum Relativisme
melihat kebenaran etika terdapat dalam setiap kebudayaan. Akibatnya dalam
menilai kebenaran etika suatu perbuatan bisa dihasilkan begitu banyak pandangan
yang berbeda-beda sehingga kebenaran yang dihasilkan tersebut tidak dapat
dipercaya. Tanpa adanya suatu ukuran yang berlaku umum akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan dalam melakukan hubungan kerja sama antara kebudayaan. Hal
ini dikarenakan setiap kebudayaan tetap berpegang pada keyakinan mereka
masing-masing.
Berkaitan dengan
Relativisme etika, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki segi
positif, aliran Relativisme ini juga memiliki segi negatif. Hal negatif
tersebut ialah tidak adanya suatu ukuran moral ideal yang dapat dijadikan
pegangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Karena ukuran tersebut sudah ada
dan dipercaya sejak dahulu maka sulit untuk diadakan suatu perubahan-perubahan
etika. Padahal mungkin saja keyakinan tersebut tidak sesuai lagi dengan konteks
zaman saat ini. Oleh karena itu adanya suatu ukuran moral ideal yang bersifat
universal bagi seluruh kebudayaan mutlak diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar