Filsafat Pendidikan Perenialisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis
Perenialisme adalah
paham filsafat pendidikan yang muncul pada awal abad 20 sebagai reaksi dari gerakan
progresivisme di Amerika Serikat. Perenialisme sering juga disebut sebagai
aliran filsafat pendidikan yang regresif, yaitu menengok ke belakang; ke zaman
Yunani Kuno dan Abad Pertengahan di Eropa yang telah menghasilkan nilai-nilai
abadi (perenial) dalam kehidupan.
Perenialisme secara ontologi, mengikuti paham Aristoteles
bahwa manusia adalah makhluk rasional (animal
rationale). Segala sesuatu (benda dan manusia) ada esensinya di samping ada
aksidensi. Esensi benda-benda dan manusia lebih diutamakan daripada
aksidensinya. Segala sesuatu itu mempunyai unsur potensialitas yang dapat
menjadi aktualitas melalui tindakan “berada”. Manusia adalah potensialitas yang
sedang berubah menjadi aktualitas (Gutek, 1988: 271). Selain Aristoteles, tokoh
lain yang menjadi panutan kaum Perenialis adalah Thomas Aquinas. Dalam
pandangan Thomas Aquinas dalam Kneller (1982: 20) manusia didefinisikan sebagai
suatu “spirit-dalam-dunia”, suatu perwujudan spirit yang memiliki kesatuan
esensial jasmani yang hidup.
Selain Aristoteles,
tokoh lain yang menjadi panutan kaum Perenialis adalah Thomas Aquinas. Dalam
pandangan Thomas Aquinas (Kneller, 1982: 20) manusia didefinisikan sebagai
suatu “spirit-dalam-dunia”, suatu perwujudan spirit yang memiliki kesatuan
esensial jasmani yang hidup. Manusia adalah unik, karena ia disusun dari
pemenuhan kebutuhan badaniah dan subtansi spiritual dan diletakkan di antara
dua dunia, dengan situasi jiwanya pada batas antara surga dan bumi. Manusia
memiliki keabadian, ketidakmatian, dan jiwa yang bukan material yang
menghidupkan prinsip-prinsip kesadaran diri dan kebebasan. Jiwa manusia
menuntut (meminta) perwujudan dan memiliki sejarah, dan eksistensi sosial,
suatu kesementaraan, berkaitan dengan bagian, yang mana manusia mengetahui,
mencintai dan memilih.
Perenialisme secara epistemologi, berpandangan bahwa segala
sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada
kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir
dengan benda-benda. Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan
metode deduksi. Kebenaran hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian
metafisika, sedangkan kebenaran realita khusus kongkrit diperoleh dengan metode
induksi yang hasilnya berupa sains (ilmu alam) dan ilmu empiris lainnya (Gutek,
1988: 272).
Selanjutnya Aquinas
(Gutek, 1974: 59) mengatakan manusia secara bersama-sama berhubungan dengan
realita materi melalui pemahamannya. Melalui pengalamannya, manusia dapat
memahami objek dan pribadi yang lain. Semua pemahamannya ini adalah kekuatan
badan yang menyatukan manusia secara langsung dengan objek sensasi individu.
Pikiran manusia memberikan kekuatan menyusun konsep dari pengalaman sensori
dengan abstraksi dan memilih karakteristik atau kualitas kehadiran objek.
Konsep dibentuk oleh pikiran ketika mereka memahami universalitas, atau
kualitas esensial, dibebaskan dari pembatasan materi konkrit. Konsep bukan
konstruksi material atau pemahaman abstrak yang dapat dimanipulasi oleh
penalaran manusia. Dengan organisasi konsep, manusia dapat menggeneralisasi
pengalaman dan dapat menkonstruksi alternatif tindakan yang mungkin dapat
dilakukan.
Sedangkan Perenialisme secara aksiologi, berpandangan bahwa sasaran
yang pantas dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip
tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai-nilai yang abadi, tak terikat ruang.
Pereanialisme berakar pada tradisi filosofi yang bisa dilacak kembali ke
filosofi Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas, yang mengajukan pandangan
bahwa keberadaan pola-pola tidak bisa berubah dan bersifat universal, yang
melatari dan menentukan seluruh objek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan.
Cara pandang budaya menyeluruh dalam Perenialisme bersifat mundur (regresif);
ia berusaha memulihkan tolok ukur mutlak yang mengatur dunia zaman kuno dan
zaman pertengahan, dan mengandung sifat menentang demokrasi yang murni
(O’Neill, 1981).
Anti-Tesis
Dalam dunia pendidikan
selain hal yang potensial pada diri peserta didik, lingkungan juga mempunyai
andil yang ikut mewarnai pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam dunia
pendidikan berupa pengalaman yang peserta didik temui dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari mereka.
Kemudian Aquinas
(Gutek, 1974: 59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah
ratio, melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi. Melalui kekuatan
rasional yang terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang
lainnya, dan menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia
memungkinkan dia menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami
dengan abstraksi universal, esential, dan kepastian kualitas objek. Melalui
berpikir, atau konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif
dan alaminya dan akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri. Dalam
transformasi lingkungan ini, manusia harus membuat rencana dan struktur yang
ada adalah proyeksi intelektual hipotesis ke dalam lingkungan untuk tujuan
pengganti (berganti-ganti) lingkungan itu. Melalui makna eksperimentasi, seni,
ilmu, dan teknologi, manusia dapat menggunakan intelektualnya untuk
menstransformasi lingkungan materinya
Aksiologi filsafat
pendidikan Perenialisme harus memandang ke depan dalam hal tantangan zaman yang
akan dihadapi oleh pendidikan. Artinya tidak terfokus pada melihat masa lalu namun
juga mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang akan ditemui serta memikirkan
solusi yang tepat dalam menanggulangi permasalahan dalam hal pendidikan di masa
depan.
Sintesis
Adapun sintesis dari
ontologi filsafat pendidikan Perenialisme ini adalah bahwa semua hal yang
berkaitan dengan pendidikan dapat terus menerus ditemui peserta didik didalam
lingkungannya berupa hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mereka
masing-masing.
Aristoteles dalam Gutek
(1974: 59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah ratio,
melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi. Melalui kekuatan rasional yang
terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang lainnya, dan
menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia memungkinkan dia
menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami dengan abstraksi
universal, esensial, dan kepastian kualitas objek. Melalui berpikir, atau
konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif dan alaminya dan
akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri.
Dalam transformasi
lingkungan ini, manusia harus membuat rencana dan struktur yang ada. Sehingga
yang ada adalah proyeksi intelektual hipotesis ke dalam lingkungan untuk tujuan
pengganti (berganti-ganti) lingkungan itu. Melalui makna eksperimentasi, seni,
ilmu, dan teknologi, manusia dapat menggunakan intelektualnya untuk
menstransformasi lingkungan materinya. Perenialisme dalam dunia pendidikan
harus bersifat fleksibel dalam mempersiapkan pendidikan agar selalu berada pada
etika dan estetika yang sesuai dengan melihat masa lalu, sekarang dan masa yang
akan datang agar tidak berbenturan dengan norma-norma yang sudah ada
sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar