Selasa, 15 Januari 2019

Perenialisme


Filsafat Pendidikan Perenialisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Perenialisme adalah paham filsafat pendidikan yang muncul pada awal abad 20 sebagai reaksi dari gerakan progresivisme di Amerika Serikat. Perenialisme sering juga disebut sebagai aliran filsafat pendidikan yang regresif, yaitu menengok ke belakang; ke zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan di Eropa yang telah menghasilkan nilai-nilai abadi (perenial) dalam kehidupan.
Perenialisme secara ontologi, mengikuti paham Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk rasional (animal rationale). Segala sesuatu (benda dan manusia) ada esensinya di samping ada aksidensi. Esensi benda-benda dan manusia lebih diutamakan daripada aksidensinya. Segala sesuatu itu mempunyai unsur potensialitas yang dapat menjadi aktualitas melalui tindakan “berada”. Manusia adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas (Gutek, 1988: 271). Selain Aristoteles, tokoh lain yang menjadi panutan kaum Perenialis adalah Thomas Aquinas. Dalam pandangan Thomas Aquinas dalam Kneller (1982: 20) manusia didefinisikan sebagai suatu “spirit-dalam-dunia”, suatu perwujudan spirit yang memiliki kesatuan esensial jasmani yang hidup.
Selain Aristoteles, tokoh lain yang menjadi panutan kaum Perenialis adalah Thomas Aquinas. Dalam pandangan Thomas Aquinas (Kneller, 1982: 20) manusia didefinisikan sebagai suatu “spirit-dalam-dunia”, suatu perwujudan spirit yang memiliki kesatuan esensial jasmani yang hidup. Manusia adalah unik, karena ia disusun dari pemenuhan kebutuhan badaniah dan subtansi spiritual dan diletakkan di antara dua dunia, dengan situasi jiwanya pada batas antara surga dan bumi. Manusia memiliki keabadian, ketidakmatian, dan jiwa yang bukan material yang menghidupkan prinsip-prinsip kesadaran diri dan kebebasan. Jiwa manusia menuntut (meminta) perwujudan dan memiliki sejarah, dan eksistensi sosial, suatu kesementaraan, berkaitan dengan bagian, yang mana manusia mengetahui, mencintai dan memilih.
Perenialisme secara epistemologi, berpandangan bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan metode deduksi. Kebenaran hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian metafisika, sedangkan kebenaran realita khusus kongkrit diperoleh dengan metode induksi yang hasilnya berupa sains (ilmu alam) dan ilmu empiris lainnya (Gutek, 1988: 272).
Selanjutnya Aquinas (Gutek, 1974: 59) mengatakan manusia secara bersama-sama berhubungan dengan realita materi melalui pemahamannya. Melalui pengalamannya, manusia dapat memahami objek dan pribadi yang lain. Semua pemahamannya ini adalah kekuatan badan yang menyatukan manusia secara langsung dengan objek sensasi individu. Pikiran manusia memberikan kekuatan menyusun konsep dari pengalaman sensori dengan abstraksi dan memilih karakteristik atau kualitas kehadiran objek. Konsep dibentuk oleh pikiran ketika mereka memahami universalitas, atau kualitas esensial, dibebaskan dari pembatasan materi konkrit. Konsep bukan konstruksi material atau pemahaman abstrak yang dapat dimanipulasi oleh penalaran manusia. Dengan organisasi konsep, manusia dapat menggeneralisasi pengalaman dan dapat menkonstruksi alternatif tindakan yang mungkin dapat dilakukan.
 Sedangkan Perenialisme secara aksiologi, berpandangan bahwa sasaran yang pantas dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai-nilai yang abadi, tak terikat ruang. Pereanialisme berakar pada tradisi filosofi yang bisa dilacak kembali ke filosofi Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas, yang mengajukan pandangan bahwa keberadaan pola-pola tidak bisa berubah dan bersifat universal, yang melatari dan menentukan seluruh objek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan. Cara pandang budaya menyeluruh dalam Perenialisme bersifat mundur (regresif); ia berusaha memulihkan tolok ukur mutlak yang mengatur dunia zaman kuno dan zaman pertengahan, dan mengandung sifat menentang demokrasi yang murni (O’Neill, 1981).
Anti-Tesis
Dalam dunia pendidikan selain hal yang potensial pada diri peserta didik, lingkungan juga mempunyai andil yang ikut mewarnai pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam dunia pendidikan berupa pengalaman yang peserta didik temui dalam aktivitas kehidupan sehari-hari mereka.
Kemudian Aquinas (Gutek, 1974: 59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah ratio, melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi. Melalui kekuatan rasional yang terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang lainnya, dan menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia memungkinkan dia menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami dengan abstraksi universal, esential, dan kepastian kualitas objek. Melalui berpikir, atau konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif dan alaminya dan akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri. Dalam transformasi lingkungan ini, manusia harus membuat rencana dan struktur yang ada adalah proyeksi intelektual hipotesis ke dalam lingkungan untuk tujuan pengganti (berganti-ganti) lingkungan itu. Melalui makna eksperimentasi, seni, ilmu, dan teknologi, manusia dapat menggunakan intelektualnya untuk menstransformasi lingkungan materinya
Aksiologi filsafat pendidikan Perenialisme harus memandang ke depan dalam hal tantangan zaman yang akan dihadapi oleh pendidikan. Artinya tidak terfokus pada melihat masa lalu namun juga mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang akan ditemui serta memikirkan solusi yang tepat dalam menanggulangi permasalahan dalam hal pendidikan di masa depan. 
Sintesis
Adapun sintesis dari ontologi filsafat pendidikan Perenialisme ini adalah bahwa semua hal yang berkaitan dengan pendidikan dapat terus menerus ditemui peserta didik didalam lingkungannya berupa hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mereka masing-masing.
Aristoteles dalam Gutek (1974: 59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah ratio, melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi. Melalui kekuatan rasional yang terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang lainnya, dan menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia memungkinkan dia menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami dengan abstraksi universal, esensial, dan kepastian kualitas objek. Melalui berpikir, atau konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif dan alaminya dan akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri.
Dalam transformasi lingkungan ini, manusia harus membuat rencana dan struktur yang ada. Sehingga yang ada adalah proyeksi intelektual hipotesis ke dalam lingkungan untuk tujuan pengganti (berganti-ganti) lingkungan itu. Melalui makna eksperimentasi, seni, ilmu, dan teknologi, manusia dapat menggunakan intelektualnya untuk menstransformasi lingkungan materinya. Perenialisme dalam dunia pendidikan harus bersifat fleksibel dalam mempersiapkan pendidikan agar selalu berada pada etika dan estetika yang sesuai dengan melihat masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang agar tidak berbenturan dengan norma-norma yang sudah ada sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar