Filsafat Pendidikan Konstruktivisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis
Secara
etimologi, Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme.
Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.
Sedangkan Isme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti paham
atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri
(Pannen dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan
bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam
belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing peserta didik ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin, 2003).
Konstruktivisme dalam
domain ontologi merupakan
pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahwa anak dapat membangun
pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya. Dengan kata
lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamannya
(Djamarah, 2010:207). Konstruktivisme adalah istilah luas yang digunakan oleh
para filsuf, perancang kurikulum, psikologi, pendidik dan lain-lain. Ernst Von
Glasserfeld menyebutnya “bidang yang sangat luas dan tidak jelas dalam
psikologi, epistimologi dan pendidikan” (1997: 204) Perspektif konstruktivis
berpijak pada penelitian, Piaget, Vygotsky, para psikolog Gestalt, Bartlett dan
Bruner maupun falsafah Jhon Dewey (Woolfolk, 2009:145). Kaum Konstruktivisme
percaya bahwa pengetahuan itu bukanlah sekedar potret kenyataan dunia semata,
tetapi pengetahuan adalah hasil dari konstruksi atau bentukan melalui kegiatan
subyek. Dimana subyek itu adalah manusia itu sendiri. Pengetahuan yang dibentuk
ini selalu merupakan konsekuensi dari konstruksi kognitif mengenai kenyataan
melalui kegiatan seseorang.
Manusia tidak dapat
pernah mengerti realitas sesungguhnya secara ontologis (hakikat keberadaan) dan
hanya dapat mengerti mengenai struktur konstruksi dari suatu obyek. Bentukan
atau konstruksi itu harus berjalan dan tidak harus selalu merupakan
representasi dunia nyata. Piaget and Inhelder (1971) mendeskripsikan tentang
konstruksi merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan yang terorganisasi daan
terkonstruksi dari suatu pemahaman. Pandangan konstruksi menganggap bahwa
pengetahuan adalah seluruh yang merujuk pada pengalaman manusia akan segala
sesuatu yang ada di dunia bukan dunia itu sendiri.
Pada kajian epistemologis, Nicholas Onuf sering
diakui sebagai tokoh yang mencetuskan istilah “Konstruktivisme” untuk menyebut
teori yang menegaskan konstruksionisme sosial dalam hubungan
internasional. Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi yang dibangun oleh diri sendiri sehingga sangat tidak mungkin
melakukan transfer pengetahuan dari pengajar ke pembelajar. Pengetahuan
membangun pengetahuan tidak seperti suatu barang atau diumpakan seperti air
yang dapat ditumpahkan ke dalam ember karena sang pengajar pada hakikatnya sama
sekali tidak kehilangan pengetahuan ketika berhasil memberikan orang lain
pengetahuan.
Pembelajaran
konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui pengalaman, interaksi
sosial, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah pembelajaran
berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber
belajar dalam pembelajaran (Yamin, 2012:10). Prinsip-prinsip dasar
Konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi dirinya terhadap
dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi sosial,
Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan),
fleksibel menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam
perspektif) untuk menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu
dapat memaknai kehidupan di dunia secara bebas.
Selanjutnya aspek aksiologis kontruktivisme dalam
konteks pendidikan banyak mempengaruhi pendidikan sains dan matematika di
banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia (Suparno, 2008). Secara garis
besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diambil adalah: 1) pengetahuan
dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara individu maupun sosial, 2)
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar, 3) murid aktif mengkonstruksi terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih
rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4) guru sekedar membantu
menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.
Selain itu, pembelajaran konstruktivistik memandang bahwa peserta didik secara
terus menerus memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan
lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai
lagi (Danarjati, dkk: 2013). Oleh karena itu, upaya yang perlu
dilakukan untuk mendorong agar peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan
belajar, yaitu: 1) suasana lingkungan belajar harus demokratis; 2) kegiatan
pembelajaran berlangsung secara interaktif dan berpusat pada peserta didik; 3)
pendidik mendorong peserta didik agar belajar mandiri dan bertanggungjawab atas
kegiatan belajarnya.
Dalam aliran filsafat,
gagasan Konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan
jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.
Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan
istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya.
Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan
harus dibuktikan kebenarannya, bahwa 8 kunci pengetahuan adalah logika dan
dasar pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008:13).
Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘cogito, ergo sum’
atau ‘saya berfikir karena itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13).
Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi
perkembangan gagasan-gagasan Konstruktivisme sampai saat ini.
Anti-Tesis
Pengetahuan
menurut filsafat Konstruktivisme berbeda dengan filsafat klasik, bahwa
pengetahuan itu adalah bentukan para peserta didik sendiri. Pendidikan yang
diistilahkan oleh Konstruktivisme adalah kegiatan mengajar, tetapi bukan
mengajar dalam arti mentransfer pengetahuan dari seorang guru kepada murid,
mengadar dalam artian Konstruktivisme lebih kepada kegiatan untuk peserta didik
membangun dan membentuk pengetahuannya sendiri.
Konstruktivisme menolak
pandangan dari filsafat Idealisme yang mengungkapkan bahwa realitas yang hakiki
bersifat ideal/spiritual. Realitas dalam Idealisme diturunkan dari substansi
fundamental yang bersifat non-material. Benda-benda yang bersifat material yang
tampak nyata sesungguhnya di ciptakan dari pikiran, jiwa, dan roh seseorang.
Sedangkan dalam konsep Konstruktivisme realitas itu tiada lain adalah fenomena
sejauh dari apa yang difahami oleh orang yang menangkapnya. Dalam
Konstruktivisme, bentuk kenyataan bergantung pada kerangka bentukan yang dibuat
individu dan dari interaksi pengamatan individu dengan obyek yang diamati.
Demikian para ahli Konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas,
tetapi lebih melihat bagaimana individu atau manusia menjadi tahu akan suatu
hal.
Sintesis
Konstruktivisme
merupakan suatu aliran filsafat pengetahuan yang menitikberatkan pada
konstruksi pengetahuan yang dibangun dan bukan gambaran dari dunia yang ada.
Pengetahuan merupakan dampak dari kosntruksi pengetahuan, kognitif, mental, dan
pengalaman yang terjadi melalui serangkaian aktivitas. Pengetahuan tidak hanya
mencakup hal hal yang teramati akan tetap ciptaan dari manusia berdasarkan hasil
pengamatan dan pengalaman yang dialami. Pengetahuan adalah suatu hal yang
berjalan terus menerus dan terorganisasi menjadi pengalaman baru.
Konstruktivisme dikenal dalam dunia pembelajaran dengan tokohnya yaitu
Jean Piaget (1896-1980) dan Vygotsky (1896-1934) yang mengembangkan teori
mengenai perkembangan anak dan kaitannya sebagai pembelajar. Terdapat dua proses utama yaitu proses
asimilasi dan akomodasi yang terjadi ketika individu menggunakan kedua proses
tersebut untuk membangun pengetahuan dan pemahamannya. Dalam tujuan pendidikan nasional yaitu untuk
membantu generasi muda Indonesia menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia
yang sesungguhnya, yang pandai secara kognitif, bermoral sesuai landasan
Negara, berbudi luhur, beriman, peka dan memiliki kepedulian terhadap orang
lain.
Kaum Konstruktivisme
meyakini bahwa panca indra lah satu-satunya alat, sarana, atau media yang
tersedia bagi seorang individu untuk mengetahui segala sesuatu. Seseorang
berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara melihat, mendengar, mencium, dan
merasa untuk membangun gambaran dunianya, untuk membangun membentuk suatu
pengetahuan dan kebenaran. Simpulnya Konstruktivisme mengajarkan hakikat
kebenaran itu ialah apa-apa yang dibangun indra kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar