Selasa, 15 Januari 2019

Konstruktivisme


Filsafat Pendidikan Konstruktivisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Secara etimologi, Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (Pannen dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan  guru yang membimbing peserta didik ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin, 2003).
Konstruktivisme dalam domain ontologi merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahwa anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya. Dengan kata lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamannya (Djamarah, 2010:207). Konstruktivisme adalah istilah luas yang digunakan oleh para filsuf, perancang kurikulum, psikologi, pendidik dan lain-lain. Ernst Von Glasserfeld menyebutnya “bidang yang sangat luas dan tidak jelas dalam psikologi, epistimologi dan pendidikan” (1997: 204) Perspektif konstruktivis berpijak pada penelitian, Piaget, Vygotsky, para psikolog Gestalt, Bartlett dan Bruner maupun falsafah Jhon Dewey (Woolfolk, 2009:145). Kaum Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan itu bukanlah sekedar potret kenyataan dunia semata, tetapi pengetahuan adalah hasil dari konstruksi atau bentukan melalui kegiatan subyek. Dimana subyek itu adalah manusia itu sendiri. Pengetahuan yang dibentuk ini selalu merupakan konsekuensi dari konstruksi kognitif mengenai kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Manusia tidak dapat pernah mengerti realitas sesungguhnya secara ontologis (hakikat keberadaan) dan hanya dapat mengerti mengenai struktur konstruksi dari suatu obyek. Bentukan atau konstruksi itu harus berjalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Piaget and Inhelder (1971) mendeskripsikan tentang konstruksi merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan yang terorganisasi daan terkonstruksi dari suatu pemahaman. Pandangan konstruksi menganggap bahwa pengetahuan adalah seluruh yang merujuk pada pengalaman manusia akan segala sesuatu yang ada di dunia bukan dunia itu sendiri.
Pada kajian epistemologis, Nicholas Onuf sering diakui sebagai tokoh yang mencetuskan istilah “Konstruktivisme” untuk menyebut teori yang menegaskan konstruksionisme sosial dalam hubungan internasional. Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi yang dibangun oleh diri sendiri sehingga sangat tidak mungkin melakukan transfer pengetahuan dari pengajar ke pembelajar. Pengetahuan membangun pengetahuan tidak seperti suatu barang atau diumpakan seperti air yang dapat ditumpahkan ke dalam ember karena sang pengajar pada hakikatnya sama sekali tidak kehilangan pengetahuan ketika berhasil memberikan orang lain pengetahuan.
Pembelajaran konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui pengalaman, interaksi sosial, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah pembelajaran berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber belajar dalam pembelajaran (Yamin, 2012:10). Prinsip-prinsip dasar Konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi dirinya terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi sosial, Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan), fleksibel menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam perspektif) untuk menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di dunia secara bebas.
Selanjutnya aspek aksiologis kontruktivisme dalam konteks pendidikan banyak mempengaruhi pendidikan sains dan matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia (Suparno, 2008). Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diambil adalah: 1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara individu maupun sosial, 2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar, 3) murid aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus. Selain itu, pembelajaran konstruktivistik memandang bahwa peserta didik secara terus menerus memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi  (Danarjati, dkk: 2013). Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mendorong agar peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan belajar, yaitu: 1) suasana lingkungan belajar harus demokratis; 2) kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif dan berpusat pada peserta didik; 3) pendidik mendorong peserta didik agar belajar mandiri dan bertanggungjawab atas kegiatan belajarnya.
Dalam aliran filsafat, gagasan Konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa  dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa 8 kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘cogito, ergo sum’ atau ‘saya berfikir karena itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan Konstruktivisme sampai saat ini.
Anti-Tesis
Pengetahuan menurut filsafat Konstruktivisme berbeda dengan filsafat klasik, bahwa pengetahuan itu adalah bentukan para peserta didik sendiri. Pendidikan yang diistilahkan oleh Konstruktivisme adalah kegiatan mengajar, tetapi bukan mengajar dalam arti mentransfer pengetahuan dari seorang guru kepada murid, mengadar dalam artian Konstruktivisme lebih kepada kegiatan untuk peserta didik membangun dan membentuk pengetahuannya sendiri.
Konstruktivisme menolak pandangan dari filsafat Idealisme yang mengungkapkan bahwa realitas yang hakiki bersifat ideal/spiritual. Realitas dalam Idealisme diturunkan dari substansi fundamental yang bersifat non-material. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata sesungguhnya di ciptakan dari pikiran, jiwa, dan roh seseorang. Sedangkan dalam konsep Konstruktivisme realitas itu tiada lain adalah fenomena sejauh dari apa yang difahami oleh orang yang menangkapnya. Dalam Konstruktivisme, bentuk kenyataan bergantung pada kerangka bentukan yang dibuat individu dan dari interaksi pengamatan individu dengan obyek yang diamati. Demikian para ahli Konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana individu atau manusia menjadi tahu akan suatu hal.
Sintesis
Konstruktivisme merupakan suatu aliran filsafat pengetahuan yang menitikberatkan pada konstruksi pengetahuan yang dibangun dan bukan gambaran dari dunia yang ada. Pengetahuan merupakan dampak dari kosntruksi pengetahuan, kognitif, mental, dan pengalaman yang terjadi melalui serangkaian aktivitas. Pengetahuan tidak hanya mencakup hal hal yang teramati akan tetap ciptaan dari manusia berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman yang dialami. Pengetahuan adalah suatu hal yang berjalan terus menerus dan terorganisasi menjadi pengalaman baru.
Konstruktivisme dikenal dalam dunia pembelajaran dengan tokohnya yaitu Jean Piaget (1896-1980) dan Vygotsky (1896-1934) yang mengembangkan teori mengenai perkembangan anak dan kaitannya sebagai pembelajar. Terdapat dua proses utama yaitu proses asimilasi dan akomodasi yang terjadi ketika individu menggunakan kedua proses tersebut untuk membangun pengetahuan dan pemahamannya. Dalam tujuan pendidikan nasional yaitu untuk membantu generasi muda Indonesia menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia yang sesungguhnya, yang pandai secara kognitif, bermoral sesuai landasan Negara, berbudi luhur, beriman, peka dan memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kaum Konstruktivisme meyakini bahwa panca indra lah satu-satunya alat, sarana, atau media yang tersedia bagi seorang individu untuk mengetahui segala sesuatu. Seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara melihat, mendengar, mencium, dan merasa untuk membangun gambaran dunianya, untuk membangun membentuk suatu pengetahuan dan kebenaran. Simpulnya Konstruktivisme mengajarkan hakikat kebenaran itu ialah apa-apa yang dibangun indra kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar