Filsafat Pendidikan Realisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis
Realisme berasal dari kata bahasa Inggris yaitu real
atau nyata. Selain itu Realisme juga berasal dari kata Latin, yaitu realis
yang berarti nyata. Dapat juga diartikan yang ada secara fakta, tidak
dibayangkan atau diperkirakan. Adapun kata fakta dalam bahasa Indonesia
berarti hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan sebuah kenyataan; sesuatu yang
benar-benar ada atau terjadi dalam kehidupan.
Kaum Realis, tokohnya adalah
Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid dari Plato,
memandang bahwa objek matematika sebagai di luar pikiran; dengan demikian
matematika bersifat kongkret. Bagi kaum Realis, tiadalah matematika jika tidak
berdasar pada pengalaman (pengalaman dianggap di luar pikiran). Maka untuk
memelajari matematika, guru harus memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
memeroleh dan menggunakan pengalaman melakukan kegiatan matematika menggunakan
benda-benda kongkret. Contoh produk kaum Realis adalah Matematika Sekolah
(Marsigit, 2013).
Pada
dasarnya aliran ini berpandangan bahwa hakekat realitas adalah fisik dan roh,
jadi realitas adalah dualistik. Realisme terdiri dari tiga golongan, yaitu Realisme humanistik, Realisme
sosial, dan Realisme yang bersifat ilmiah. Realisme humanistik menghendaki
pemberian pengetahuan yang luas, ketajaman pengalaman, berfikir dan melatih
ingatan. Realisme sosial berusaha mempersiapkan individu untuk hidup
bermasyarakat. Realisme yang bersifat ilmiah atau Realisme ilmu menekankan pada
penyelidikan tentang alam. Francis Bacon (1561-1626) seorang tokoh Realisme
ilmu berpandangan bahwa alam harus dikuasai oleh manusia. Pandangannya tentang
manusia ditentukan oleh kemampuan menggunakan pikirannya.
Realisme
secara ontologi, berarti
konsep-konsep umum yang disusun oleh budi manusia yang terdapat dalam kenyataan
dan lepas dari pikiran manusia. Sedangkan dalam arti umum, Realisme berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang
terjadi, jadi bukan kepada yang diharapkan atau diinginkan. Akan tetapi dalam
filsafat, kata Realisme dipakai dalam arti yang lebih teknis. Aliran Realisme
mempersoalkan objek pengetahuan manusia. Aliran Realisme memandang bahwa objek
pengetahuan manusia terletak di luar diri manusia. Contohnya sebuah kursi itu
ada karena ada yang membuatnya, begitu juga dengan adanya alam yang berarti ada
yang membuatnya. Tetapi kaum realis tidak mempercayai adanya ruh karena yang
ada hanyalah jiwa. Kaum realis ini juga berpendapat bahwa tidak ada kehidupan
sesudah kematian
Aliran Realisme
berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh yang bersifat
dualistis yaitu hal fisik dan rohani, dalam pendidikan ada subjek yang
mengetahui tentang manusia dan alam. Kajian yang mendalam mengenai Realisme ini
lebih cenderung kepada politik, namun beberapa subjek membahas mengenai
pendidikan. Aliran Realisme pendidikan dipelopori oleh beberapa orang
filsuf diantaranya adalah David Hume, John Stuart Mill. Menurut Realisme, yang
dimaksud dengan hakikat kenyataan itu berada pada ”hal” atau ”benda”. Jadi,
bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu,
wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada
pada diri peserta didik.
Selanjutnya pada aspek epistemologi, Realisme dalam pendidikan
merupakan proses ilmiah yang ditujukan pada hal-hal yang beranekaragam
persoalan pendidikan seperti mengenai realitas peserta didik, pendidik, dan isi
pendidikan, strategi dan lain sebagainya yang digunakan oleh seseorang atau
sekelompok sebagai dasar utama dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Aliran filsafat Realisme dalam pendidikan tidak hanya bergantung kepada peserta
didik akan tetapi apa yang ada pada diri guru dan materi apa yang akan
diajarkan sangat berpengaruh dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan
dan semestinya. Selanjutnya karakteristik dan minat serta bakat peserta didik
ikut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, selain
pendampingan yang diberikan oleh guru dan orang tua peserta didik. Karena itu
tugas mendidik bukan hanya tugas guru namun juga orang tua peserta didik di
rumah karena jika hanya bergantung kepada guru maka akan ada ketimpangan baik
itu berupa pengetahuan maupun mental pada diri peserta didik.
Sedangkan Realisme
secara aksiologi, mengajarkan bahwa
menanamkan pengetahuan tertentu kepada anak yang sedang tumbuh dan berkembang
merupakan tugas paling penting di sekolah. Oleh karena itu, inisiatif dalam
penerapannya terletak pada guru sebagai pengalihan warisan bukan pada peserta
didik. Sehingga guru yang selalu memutuskan ke arah mana peserta didik mau
diarahkan dan apa saja subjek materi yang mesti mereka pelajari merupakan guru
yang termasuk inisiatif dalam membelajarkan peserta didik-peserta didiknya.
Anti-Tesis
Secara normatif, Realisme
adalah anti-tesis dari Idealisme; maka Pendidikan Realisme Mutlak bersifat
Anti-Idealisme (Marsigit, 2014). Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan
bahwa obyek-obyek yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek
tersebut. Obyek-obyek tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui
atau dengan kata lain tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia
luar saling berinteraksi, akan tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat
dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan
tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari. Menurut Aristoteles,
realitas berada dalam benda-benda kongkrit atau dalam proses-proses
perkembangannya. Dunia yang nyata adalah dunia yang kita cari. Bentuk (form) atau idea dan prinsip keteraturan dan materi tidak
dapat dipisahkan.
Selain Realisme
rasional dan Realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai
Realisme, yaitu neo-Realisme dan Realisme kritis. Neo-Realisme adalah pandangan
dari Frederick Breed mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan
prinsip-prinsip demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan
Realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang mensintesiskan
pandangan berbeda antara Empirisme dan Rasionalisme, skeptimisme dan
Absolutisme, serta eudaeMonoisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan
menerima jenis pendidikan yang sama. Menurutnya pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena
itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, tidak
semua manusia
itu sama dalam menangkap pelajaran karena kemampuan tiap orang berbeda-beda
sehingga harus disesuaikan dalam proses pendidikan.
Sintesis
Berdasarkan tesis dan
anti-tesis dapat dijelaskan bahwa dalam mencapai sebuah tujuan pendidikan yang
diharapkan menurut aliran Realisme tidak hanya bergantung pada apa yang ada
dalam diri peserta didik, namun juga bergantung pada siapa dan bagaimana guru
mengajarkan peserta didik serta materi apa yang perlu dan tidak perlu diajarkan
kepada peserta didik dengan mengenang bahwa peserta didik dan guru mempunyai
keterbatasannya masing-masing dalam menyerap segala hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan. Dalam pendidikan perlu adanya sinergitas antara guru, orang
tua dan peserta didik yang mempunyai andil masing-masing dalam terbentuknya
mental dan pengetahuan peserta didik dalam setiap tahap pertumbuhan dan
perkembangannya. Oleh karena itu, komunikasi yang efektif dan efisien antara guru,
orang tua, dan peserta didik perlu tetap dijaga dalam mewujudkan pendidikan
yang berkualitas.
Aliran ini berpendapat
bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan hakikat yang asli dan abadi.
Kneller membagi Realisme menjadi dua, yaitu: Realisme rasional, memandang bahwa
dunia materi adalah nyata dan berada di luar pikiran
yang mengamatinya, terdiri dari Realisme klasik dan Realisme religius.
Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati bukan hasil
kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan substansialitas,
sebab akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari dunia
itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan pendidikan,
pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling
rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling
rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat
manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses
pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di
mana ia dapat mencapainya. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik
bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan
pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik.
Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan
pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan
pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan peserta didik
hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan
strategi mengajar yang bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar