Selasa, 15 Januari 2019

Rasionalisme


Filsafat Pendidikan Rasionalisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Tesis
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris yaitu rationalism. Kata ini berakar dari kata Latin yaitu ratio yang berarti “akal”. Sementara secara terminologis, aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegangan pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi (Sumantri dan Permana, 1998: 119).
Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Tokoh aliran Rasionalisme adalah Rene Descartes (1596-1650). Ia adalah matematikawan, fisikawan dan filosof dari Perancis yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan pesat dari ilmu-ilmu alam.
Rasionalisme dari ontologi aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap obyek. Aliran Rasionalisme ini memandang bahwa indera manusia sering menipu, sehingga pengetahuan yang berasal dari pengamatan indera bernilai salah. Menurut Rene Descartes, ilmu pengetahuan yang murni adalah ilmu pengetahuan yang hanya berdasarkan logika sebab-akibat (reasoning).
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan pada bahan indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Rasionalisme secara epistemologi, mengutamakan rasio untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme memandang bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan dan pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum ”sebab-akibat” karena peristiwa yang tak terhingga dalam kejadian alam ini tidak mungkin dapat diamati.
Indra dan akal yang bekerja sama belum juga dapat dipercaya mampu mengetahui bagian-bagian tertentu tentang suatu objek. Manusia mampu menangkap keseluruhan objek beserta intuisinya. Jika yang bekerja hanya rasio, maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat. Dan pengetahuan filsafat itu sendiri ialah pengetahuan logis tanpa didukung data empiris. Jadi, pengetahuan filsat ialah pengetahuan yang sifatnya berupa hal-hal logis saja.
Rasionalisme pada aksiologi, berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena Rasionalisme tidak mengakui nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut Rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. Maka dengan akal pikiran kita dapat menggunakan perkataan maupun perbuatan sesuai dengan etika dan estetika yang berlaku di masyarakat melalui pendidikan.
Rasionalisme akan bermakna baik jika akal dan pengalaman yang dimiliki dapat digunakan untuk sesuatu yang bernilai, baik itu berupa etika maupun estetika dalam berprilaku. Misalnya seorang guru perlu memberikan contoh yang baik dalam menggunakan pakaian atau perkataan yang sopan kepada peserta didiknya sehingga peserta didik yang mengikutinya sebagai teladan juga akan mengikuti dan mencontoh bagaimana tatacara kesopanan guru tersebut ketika berbicara dan kesopanan guru tersebut dalam menggunakan pakaian.
Anti-Tesis
Paham yang berlawanan dengan Rasionalisme adalah Empirisme. Aliran ini lebih menekankan peranan pengalaman dan mengecilkan peran akal dalam memperoleh pengetahuan. Sebagai suatu doktrin, Empirisme adalah lawan dari Rasionalisme. Dalam menguatkkan doktrinnya, emperisme mengembangkan dua teori, yaitu teori tentang makna yang begitu tampak pada pemikiran John Locke dalam buku An Essay concerning human understanding ketika ia menentang innate idea (ide bawaan) Rasionalisme Descartes. Teori tentang makna kemudian dipertegas oleh D. Hume dalam bukunya Treatise of human nature dengan cara membedakan antara idea dan kesan (impression).
Selain akal, pengalaman mempunyai peran dalam membentuk pengetahuan peserta didik yang bersifat abstrak yang dapat ditemui dalam sifat yang berbentuk konkret. Oleh karena itu, pengalaman yang langsung didapat dari pancaindra kita dapat di proses menjadi pengetahuan berdasarkan kontruktif yang dapat bertahan lama dalam ingatan peserta didik.
Rasionalisme memberikan kebebasan akal dalam melakukan hal yang terbaik dalam pendidikan, namun pengalaman memberikan contoh terbaik dalam memberikan etika dan estetika yang berlaku dan sesuai di dalam masyarakat. Melalui empirislah seseorang dapat belajar bagaimana etika yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang dalam kalangan suatu komunitas tertentu dengan memperhatikan aturan yang berlaku.
Sintesis
Sintesis dari filsafat pendidikan ini adalah Rasionalisme dan Empirisme itu saling mempunyai keterkaitan satu sama lainnya dalam mendapatkan pengetahuan. Aliran Rasionalisme lebih menggunakan akal dalam mendapatkan pengetahuannya sedangkan aliran emperisme lebih mengandalkan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang didapatkannya.
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran Empirisme disebabkan karena kelemahan alat indra, dan dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme dan Empirisme dalam pandangan kritisisme sudah terjebak pada paham eklusivisme, kedua aliran ini sama-sama mempertahankan kebenaran, seperti Rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, sementara Empirisme mengatakan sumber pengetahuan adalah pengalaman, padahal masing-masing aliran ini memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam kondisi seperti itu Immanual Kant tampil untuk mendamaikan kedua aliran tersebut, menurut Kant bahwa pengetahuan merupakan hasil kerja sama dua unsur yaitu ‘pengalaman inderawi’ dan ‘keaktifan akal budi’. Pengalaman inderawi merupakan unsur aposteriori (yang datang kemudian), akal budi merupakan unsur apriori (yang datang lebih dulu). Empirisme dan Rasionalisme hanya mementingkan satu dari dua unsur ini. Kant telah memperlihatkan bahwa pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis (Hamersma, 1992).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar