Filsafat Pendidikan Rasionalisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis
Secara etimologis
Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris yaitu rationalism. Kata ini berakar dari kata Latin yaitu ratio yang berarti “akal”.
Sementara secara terminologis, aliran ini dipandang sebagai aliran yang
berpegangan pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam
penjelasan. Ia menekankan akal (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul dan bebas (terlepas) dari pengamatan
inderawi (Sumantri dan Permana, 1998: 119).
Rasionalisme adalah
faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu,
tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Tokoh aliran Rasionalisme adalah Rene
Descartes (1596-1650). Ia adalah matematikawan, fisikawan dan filosof dari
Perancis yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern. Zaman Rasionalisme
berlangsung dari pertengahan abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Pada zaman ini
hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan
ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan pesat dari ilmu-ilmu
alam.
Rasionalisme
dari ontologi aliran ini menyatakan
bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur
dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan akal menangkap obyek. Aliran Rasionalisme ini memandang bahwa indera
manusia sering menipu, sehingga pengetahuan yang berasal dari pengamatan indera
bernilai salah. Menurut Rene Descartes, ilmu pengetahuan yang murni adalah ilmu
pengetahuan yang hanya berdasarkan logika sebab-akibat (reasoning).
Rasionalisme tidak
mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra
digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan
akal dapat bekerja. Akan tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang
tidak didasarkan pada bahan indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga
menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Rasionalisme
secara epistemologi, mengutamakan
rasio untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme memandang bahwa
akal merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan dan pengalaman tidak
mungkin dapat menguji kebenaran hukum ”sebab-akibat” karena peristiwa yang tak
terhingga dalam kejadian alam ini tidak mungkin dapat diamati.
Indra dan akal yang bekerja
sama belum juga dapat dipercaya mampu mengetahui bagian-bagian tertentu tentang
suatu objek. Manusia mampu menangkap keseluruhan objek beserta intuisinya. Jika
yang bekerja hanya rasio, maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan
filsafat. Dan pengetahuan filsafat itu sendiri ialah pengetahuan logis tanpa
didukung data empiris. Jadi, pengetahuan filsat ialah pengetahuan yang sifatnya
berupa hal-hal logis saja.
Rasionalisme pada aksiologi, berpendirian bahwa sumber
pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena Rasionalisme tidak mengakui nilai
pengalaman, melainkan pengalaman paling dipandang sebagai sejenis perangsang
bagi pikiran. Para penganut Rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak di dalam ide kita. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. Maka dengan
akal pikiran kita dapat menggunakan perkataan maupun perbuatan sesuai dengan
etika dan estetika yang berlaku di masyarakat melalui pendidikan.
Rasionalisme akan
bermakna baik jika akal dan pengalaman yang dimiliki dapat digunakan untuk
sesuatu yang bernilai, baik itu berupa etika maupun estetika dalam berprilaku.
Misalnya seorang guru perlu memberikan contoh yang baik dalam menggunakan
pakaian atau perkataan yang sopan kepada peserta didiknya sehingga peserta
didik yang mengikutinya sebagai teladan juga akan mengikuti dan mencontoh
bagaimana tatacara kesopanan guru tersebut ketika berbicara dan kesopanan guru
tersebut dalam menggunakan pakaian.
Anti-Tesis
Paham yang berlawanan
dengan Rasionalisme adalah Empirisme. Aliran ini lebih menekankan peranan
pengalaman dan mengecilkan peran akal dalam memperoleh pengetahuan. Sebagai
suatu doktrin, Empirisme adalah lawan dari Rasionalisme. Dalam menguatkkan
doktrinnya, emperisme mengembangkan dua teori, yaitu teori tentang makna yang
begitu tampak pada pemikiran John Locke dalam buku An Essay concerning human understanding ketika ia menentang innate idea (ide bawaan) Rasionalisme
Descartes. Teori tentang makna kemudian dipertegas oleh D. Hume dalam bukunya Treatise of human nature dengan cara
membedakan antara idea dan kesan (impression).
Selain akal, pengalaman
mempunyai peran dalam membentuk pengetahuan peserta didik yang bersifat abstrak
yang dapat ditemui dalam sifat yang berbentuk konkret. Oleh karena itu,
pengalaman yang langsung didapat dari pancaindra kita dapat di proses menjadi
pengetahuan berdasarkan kontruktif yang dapat bertahan lama dalam ingatan
peserta didik.
Rasionalisme memberikan
kebebasan akal dalam melakukan hal yang terbaik dalam pendidikan, namun
pengalaman memberikan contoh terbaik dalam memberikan etika dan estetika yang
berlaku dan sesuai di dalam masyarakat. Melalui empirislah seseorang dapat
belajar bagaimana etika yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang dalam
kalangan suatu komunitas tertentu dengan memperhatikan aturan yang berlaku.
Sintesis
Sintesis dari filsafat
pendidikan ini adalah Rasionalisme dan Empirisme itu saling mempunyai
keterkaitan satu sama lainnya dalam mendapatkan pengetahuan. Aliran
Rasionalisme lebih menggunakan akal dalam mendapatkan pengetahuannya sedangkan
aliran emperisme lebih mengandalkan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang
didapatkannya.
Bagi aliran ini
kekeliruan pada aliran Empirisme disebabkan karena kelemahan alat indra, dan
dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme dan Empirisme dalam
pandangan kritisisme sudah terjebak pada paham eklusivisme, kedua aliran ini
sama-sama mempertahankan kebenaran, seperti Rasionalisme mengatakan bahwa
sumber pengetahuan adalah rasio, sementara Empirisme mengatakan sumber
pengetahuan adalah pengalaman, padahal masing-masing aliran ini memiliki
kelemahan-kelemahan. Dalam kondisi seperti itu Immanual Kant tampil untuk
mendamaikan kedua aliran tersebut, menurut Kant bahwa pengetahuan merupakan
hasil kerja sama dua unsur yaitu ‘pengalaman inderawi’ dan ‘keaktifan akal
budi’. Pengalaman inderawi merupakan unsur aposteriori
(yang datang kemudian), akal budi merupakan unsur apriori (yang datang lebih dulu). Empirisme dan Rasionalisme hanya
mementingkan satu dari dua unsur ini. Kant telah memperlihatkan bahwa
pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis (Hamersma, 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar