Filsafat Pendidikan Idealisme
Muhammad Fendrik, M.Pd dan Prof. Dr.
Marsigit, MA
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Tesis:
Idealisme merupakan
sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz
pada awal abad 18. Idealisme menekankan pada kebenaran yang tak berubah dan mempunyai
pengaruh kuat terhadap pemikiran kefilsafatan. Puncak Idealisme berada pada
masa abad ke-18 dan 19, yaitu pada saat Jerman sedang memiliki pengaruh besar
di Eropa.
Idealisme secara ontologi merupakan hakekat segala
sesuatu terletak pada ide atau pikiran manusia. Kaum
Idealis, tokohnya adalah Plato memandang bahwa objek matematika berada di dalam pikiran manusia; dengan
demikian matematika bersifat ideal, abstrak dan sempurna. Objek di dalam
pikiran manusia diperoleh dengan cara idealisasi, yaitu menganggap sempurna matematika; dan abstraksi,
yaitu memelajari sifat tertentu saja (Marsigit, 2013).
Dalam mencari
kebenaran, Plato berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia
nyata karena dunia nyata bersifat kekal dan akan selalu mengalami perubahan.
Artinya bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi hal itu
merupakan analogi yang dihasilkan oleh panca indera manusia. Berkaitan dengan
hal ini, Knight (2004) mengemukakan bahwa realitas bagi Idealisme adalah dunia
penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang ditangkap
melalui kecerdasan akal pikiran (mind).
Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih
penting daripada dunia empiris indrawi. Lebih lanjut, ia juga mengemukakan
bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada dibandingkan objek-objek material yang
dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah kursi. Dimana para penganut
Idealisme berpandangan bahwa seseorang harus telah mempunyai ide tentang kursi
dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk didudukinya.
Metafisika Idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir
kejiwaan seseorang.
Selanjutnya secara epistemologi, Plato memandang bahwa Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah
dunia di dalam jiwa, jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide,
dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan
dengan gejala-gejala psikis, roh, budi, diri, pikiran mutlak, bukan
berkenaan dengan materi. Ketika Idealisme menekankan realitas
dunia ide dan akal pikiran, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui
(epistemologi) pada dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental untuk
menyerap segala ide-ide, gagasan dan konsep. Dalam pandangan Idealisme
mengetahui realitas tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau
meraba, akan tetapi lebih sebagai tindakan menguasai ide sesuatu dan
memeliharanya dalam akal pikiran yang konsistensi dan koherensi. Para penganut
Idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem
kebenaran yang mempunyai konsistensi logis. Sesuatu akan bernilai benar jika ia
selaras dengan keharmonisan hakikat alam semesta. Sedangkan segala sesuatu yang
inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta maka harus ditolak karena
merupakan sesuatu yang salah.
Sedangkan secara aksiologi, Idealisme berakar kuat pada
cara metafisikanya. Menurut Knight (2004), jagat raya ini dapat dipikirkan dan
direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat
kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir
Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensoriknya dapat dipandang
sebagai bayangan dari apa yang sejatinya telah ada. Dalam konsepsi demikian,
tentu akan membuktikan bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan
dan kemudahan itu berada di luar diri manusia karena berada pada hakikat
realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang abadi
dan baku.
Adapun beberapa
pandangan para filsuf terhadap Idealisme adalah sebagai berikut:
1. Fichte memakai nama Idealisme subyektif,
jadi pandangan-pandangan berasal dari subyek-subyek tertentu, dia menyandarkan
keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal. Dia diduga sebagai
pendiri Idealisme di jerman.
2. Hegel mengangkat Idealisme subyektif dan
obyektif untuk menggambarkan tesis dan antitesis secara
berturut-turut. Hegel sendiri mengemukakan pandangannya sendiri yang
disebut Idealisme absolut sebagai sintesis yang lebih tinggi dibanding unsur yang
membentuknya (tesis dan antitesis).
3. Kant menyebut pandangannya dengan istilah Idealisme
transendental atau Idealisme kritis. Dalam alternatif ini isi pengalaman
langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan ruang dan
waktu merupakan forma intuisi kita sendiri. Schelling telah menggunakan
istilah Idealisme transendental sebagai pengganti Idealisme subyektif
(Wikipedia).
Anti-Tesis
Substansi atau materi
pembelajaran di sekolah saat ini lebih berbasis pada fakta atau fenomena yang
dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas
kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. Oleh karena itu, empiris
indrawi sebagai objek material yang akan dipelajari perlu untuk dipikirkan dan
dirumuskan terlebih dahulu agar dalam perencanaan dan pengarahannya sesuai
dengan tujuan pembelajaran.
Para penganut Idealisme
memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang
mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan
keharmonisan hakikat alam semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan
struktur ideal alam semesta harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah.
Dalam Idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam
semesta. Oleh karena itu, ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman.
Dengan demikian, cara
yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut
Idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan
mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam
menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan
epistemologi dasar dari Idealisme. Dalam pandangan Idealisme, kehidupan etik
dapat direnungkan sebagai suatu kehidupan yang dijalani dalam keharmonisan
dengan alam (universe).
Sintesis
Uraian tesis dan
antitesis di atas, dapat dipahami bahwa meskipun Idealisme berpandangan yang
berfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak
menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan Idealisme tidak
memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran ide
dengan dunia materi. Akan tetapi yang ditekankan adalah bahwa yang utama adalah
dunia ide karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu ada
dalam tataran ide atau pikiran manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar